1 (Novel "David")

Saturday 23 April 2011

Waktu. Bagaimana rupanya? Tentangnya, orang-orang selalu berbincang dengan cemas dan gamang, seakan sedang membincangkan peristiwa dan ancaman yang sebentar lagi pasti dating menimpakan kelam.
Lelaki itu mengerti, meski sudah berabad-abad menjadi saksi atas solah tingkah waktu, ia tak bakal dapat memetakan rupa waktu. Karena waktu adalah hantu. Hantu yang menyelimuti seluruh hidup manusia, baik dan buruk, dan benar dan salah. Hantu yang piawai menyaru jadi apa saja hingga rupa aslinya tak pernah pasti. Yang pasti adalah waktu lebih digdaya dan berkuasa dari Negara dan cinta.
Tapi orang-orang tak juga berhenti melakukan usaha sia-sia untuk memetakan rupa waktu. Mereka penjarakan waktu dalam bingkai-bingkai jam, kalender, tarikh—dan paras waktu selalu gagal mereka dapatkan. Sejarah adalah bukti terbesar kegagalan manusia dalam berurusan dengan waktu. Dan lukisan, foto, lagu, sastra, film-film tua dan baru, adalahbukti-bukti kuat yang lain dari kesia-siaan usaha manusia untuk mengekalkan semua yang pernah ada ketika waktu masih ranum dan menyenangkan, sedang waktu membalas perlakuan orang-orang kepadanya dengan lebih kejam: ia dera semua yang berurusan dengannya. Dan orang-orang itu, o betapa mengenaskan!
Mereka berkata bahwa buku harian dapat menyelamatkan diri mereka, karena sebuah buku harian mau menampung keluh kesah dan penggal-penggal waktu yang selalu membuat mereka lelah. Tapi mereka salah. Kelam dan kemelut di buku harian hanya menegaskan kebuasan waktu, dan semua yang sempat tercatat, entah kemenangan perang, kematian presiden, desir angin, rintik hujan, Cuma serpihan kecil dalam biografi waktu yang sarat kemenangan.
Seperti apa rupa waktu?







Sumber : Novel “David”
Karya : An. Ismanto
Penerbit : Grafindo Litera Media
Tahun : 2006

Mencari Tepi Langit (Bag.27)

Friday 22 April 2011


Meulaboh. Hari pertama di tahun 2005, pukul 7.30 pagi, KRI yang mereka tumpangi mulai merapat di perairan Meulaboh setelah lima malam berlayar dari Jakarta. Ini ekspedisi bantuan pertama dari Jakarta, membawa bahan makanan, obat-obatan, dan personel. Sehari sebelumnya, ketika singgah di Sibolga, sekitar 200 orang personel tambahan naik, juga tim dokter dari FKUI yang di-drop dengan pesawat Casa dari Bengkulu.
Satu kilometer dari pantai, Meulaboh betul-betul seperti kota masti. Senja, Zul, dan wartawan-wartawan lain semua berdiri di haluan, mengamati dari jauh. Air laut alun, tapi terasa lebih dingin. Dari jauh, kota pelabuhan itu terlihat sepi.
Pukul 8.30, mereka memutuskan turun. Cerita tentang GAM yang konon telah turun gunung dan menunggu di sepanjang pantai, mereka halau jauh-jauh dari pikiran. Dermaga rusak dan tak bisa dirapati kapal perang itu. Jalan satu-satunya hanya dengan sekoci. Untunglah, tentara Angkatan Laut berbaik hati merapatkan mereka pertama-tama.
Santo, Iskandar, Jeff, Felix, Joe, Senja, dan Zul, ditambah Gustav dan Zainal dari Dispen Armabar, berdesak-desakan di sekoci yang tak seberapa besar itu. Sepanjang laju, mereka semua terdiam, tak ada yang bicara. Selalu dalam liputan bencana, satu pertanyaan yang sama bermain-main di kepala mereka : apa yang akan kami temui nanti disana?
Merapat di pantai, tempat itu ternyata tak benar-benar sepi. Serombongan tentara menyambut mereka. Mariner dari Yonmarhanlan I Belawan. Mereka sedang mendirikan tenda dan memasak di bawah pohon ketika rombongan Senja tiba.
Pak Parulian, seorang mariner berbadan besar, menyapa mereka.
“Sudah tak ada orang lagi di sini, yang selamat sudah mengungsi ke lapangan Kompi,” katanya sambil menyuguhkan the dari ceret aluminium. Tempat yang dimaksudnya adalah sebuah lapangan di markas Korem 012 Teuku Umar. Senja tahu tempat itu, di sana komandan-nya seorang colonel asal Bugis yang punya reputasi hebat dalam Perang Timor Timur.
“Tadi malam, kami sudah mengubur seratus enam mayat yang kami temukan di sini,” cerita Pak Parulian lagi.
Senja mengalihkan pandangan ke sekeliling. Aroma yang sejak tadi menyeruak mulai menusuk hidung. Di saku raincoat-nya, ada masker, tapi dia berniat tidak memakainya, kecuali betul-betul terpaksa.
….
“Turunkan dari Cikeas dulu, turunkan dari Cikeas dulu!”
Tiba-tiba, ada yang berteriak. Senja berusaha mencari tahu orangnya, tapi kerumunan orang yang berjubel menghalangi pandangannya.
Zul sudah siap dengan kameranya.
Proses penurunan bantuan itu memang agak terhambat karena kapal tidak bisa merapat ke dermaga yang rusak. Akhirnya, TNI Angkatan Laut menurunkan semua sekocinya untuk mengangkut barang-barang bantuan dari kapal yang buang jangkar agak jauh ke laut. Tentara dan relawan bekerja keras melawan ombak yang lumayan tinggi untuk mencapai pantai. Namun, ketika bantuan sudah terkumpul lumayan banyak di dermaga, bantuan tidak segera dibagikan.
“Cari yang dari Cikeas dulu!” Lagi-lagi, ada yang berteriak. Entah siapa yang bikin aturan bahwa bantuan dari Cikeas harus dibagikan terlebih dulu sebelum bantuan-bantuan dari lembaga lain.
Gila! Senja mengutuk dalam hati. Hari gini masih ada juga orang cari muka.

Kota pelabuhan ini benar-benar hancur. Rumah dan took ambruk atau hilang disapu air. Ada mobil nyungsep di atas tiang listrik atau parkir di garasi tetangga. Sebuah kapal kayu besar teronggok dekat ayunan anak-anak di taman. Pastilah hanya kekuatan mahadahsyat yang bisa melemparkannya begitu rupa. Lemari es, mesin cuci, CPU computer, mesin tik, sepeda, motor, mobil, semuanya bergabung menjadi rongsokan. Ada bros kembang masih terpasang di gaun berwarna hitam yang penuh lumpur.
Di tempat lain, buku-buku dan VCD berserakan. Senja membayangkan tempat itu bekas kamar seorang remaja muda yang sedang ceria-cerianya. Dia berpikir, pemiliknya mungkin masih terjebak di reruntuhan di bawah kakinya.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, Jeff, fotografer KBA itu, tampak sedang berusaha menegakkan sebuah tiang kayu yang diberinya tanda kain. Sesosok tubuh lagi ditemukannya ketika sedang memotret.
Hanya begitulah yang mereka bisa. Kadang-kadang, mereka berpikir tentang fardu kifayah, bahwa betapa berdosanya mereka yang tak bisa berbuat banyak menyaksikan tubuh-tubuh yang membusuk itu. Hanya memberinya tanda dan berharap orang lain segera menemukannya. Padahal, mereka juga punya dua lengan yang sama sehatnya.
Di sepanjang perjalanan menumpang truk tentara menuju tempat pengungsian, pemandangan semakin menyakitkan mata dan hidung. Mayat-mayat dijejer di pinggir atau median jalan, menunggu relawan mengangkutnya ke kuburan massal. Senja teringat pada obrolannya malam sebelumnya di atas kapal dengan seorang bapak penumpang dari Sibolga. Semua keluarganya tinggal di Meulaboh. Berhari-hari, dia menunggu tumpangan hanya untuk menemukan keluarganya dan memastikan mereka jika memang tak terselamatkan--tidak dikubur di kuburan massal. Setidaknya, agar ada makam yang bisa diziarahi.
Kembali di dermaga setelah berkeliling, Senja bertemu dengan Pak Suherman, seorang pegawai sipil Kodim. Setiap hari, sejak bencana itu dating, dia mengais-ngais puing-puing rumahnya, berharap menemukan jasad istri dan anaknya. Hari itu, setelah seharian membongkar-bongkar bersama seorang anaknya yang berhasil selamat, dia menemukan mayat anak kecil. Bukan mayat anak yang dicarinya, tapi tetap diangkatnya dan dimasukkannya ke kantong plastic hitam. Katanya, nanti akan dikuburkan di mana sempat.
Pak Suherman minta kepada anaknya supaya menceritakan kembali kejadian itu kepada Senja. Bocah itu bercerita denganterbata-bata, tapi selalu berhasil menyelesaikan kalimatnya. Senja yang tak kuat, dan cepat-cepat meninggalkan mereka setelah mengucapkan simpati dan mendoakan dia segera menemukan istri dan anaknya—setidaknya dalam bentuk jasad.
Ini kedua kalinya Senja mendatangi Meulaboh. Dan, dia bisa membandingkan keadaan kota ini dulu dan sekarang. Kota pantai ini telah hilang. Rasanya, kamera yang mereka bawa tak merekam gambar apa-apa selain kerusakan.
Tiga jam setelah menginjakkan kaki di pantai itu, Senja baru merasa matanya basah. Di kejauhan, sebuah masjid tampak tegak berdiri di antara reruntuhan di sekitarnya. Senja menarik napas dalam-dalam, merasakan dadanya sesak oleh sebuah pertanyaan : Tuhan, apa yang sesungguhnya ingin Kau sampaikan?






Sumber : Novel Mencari Tepi Langit,
Karya : Fauzan Mukrim.
Penerbit : Gagas Media
Tahun : 2010

Journalism For Sale

Wednesday 20 April 2011

Republik tercinta Indonesia tak pernah lepas dari kelompok negara paling korup di dunia. Dari waktu ke waktu, berdasarkan hasil penelitian Yransparency International melalui survey Corruption Perception Index yang dilakukan setiap tahun, Indonesia selalu masuk kelompok Negara terkorup bersama-sama Negara miskin seperti Sudan, Haiti, Kenya, Ethiopia, Bangladesh, Myanmar, dan Kamboja.

Dilihat dari sumber daya alam yang dimiliki, tentu saja Indonesia jauh lebih kaya dibandingkan dengan Negara-negara tersebut, bahkan lebih kaya dari Singapura, Malaysia, Filipina, Vietnam, Laos yang sudah melesat meninggalkan kelompok Negara terkorup dunia. Yang lebih ironis, untuk wilayah Asia Tenggara, Indonesia justru memiliki perekonomian paling besar.

Untuk memerangi dan menumpas korupsi, pemerintah dan masyarakat menaruh harapan amat besar pada pers, pada wartawan. Pers disebut-sebut sebagai pilarkeempat demokrasi setelah lembaga-lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislative. Ah, alangkah heroiknya.

Lihatlah, dengan gagahnya, banyak wartawan menggantungkan ID card media tempat mereka bekerja di kaca spion tengah di dalam mobil mereka. Mereka berpikir, jika sewaktu-waktu mereka terlibat masalah di jalan, polisi atau warga sipil akan segan pada mereka karena tahu mereka adalah wartawan.

Pers memang alat strategis untuk memerangi korupsi. Ibaratnya, pers adalah sapu untuk membersihkan lantai kotor yang penuh sampah. Namun, apa jadinya kalau sapu itu sendiri kotor, sapu yang dipungut dari comberan ?.

Memang masih banyak wartawan yang secara individual memiliki idealism kuat untuk memerangi segala bentuk korupsi. Namun, masih jauh lebih banyak lagi yang memiliki toleransi terhadap korupsi dan suap dengan kadar berbeda-beda. Mereka yang termasuk kelompok terbesar ini amat pintar bermain di wilayah abu-abu, wilayah yang sulit dibuktikan hitam-putihnya.

Suatu ketika, seorang wartawan muda mengantongi pena seharga lima ribu rupiah yang memang disediakan untuk tiap wartawan oleh penyelenggara acara, pada sebuah jumpa pers di sebuah hotel. Amplop berisi uang ratusan ribu rupiah, yang disodorkan penyelenggara acara, ditolaknya sewaktu dia baru tiba pada jumpa per situ. Sementara itu, tak ada pertimbangan membawa pulang pena murahan yang diterimanya selain bahwa pena tersebut memang enak untuk dipakai menulis cepat di saat dia meliput.

Di lain waktu, seorang redaktur terbang dari Jakarta ke Singapura hanya demi memenuhi undangan makan malam plus wawancara eksklusif seorang menteri cabinet Indonesia di sebuah hotel mewah. Selain membayarkan tiket pesawat Jakarta-Singapura-Jakarta bagi sang redaktur dan biaya menginap satu malam di hotel mewah itu, plus uang saku “alakadarnya”, selesai wawancara, si menteri perlente menyodorkan bolpoin Montblanc baru seharga 15 juta rupiah.

“Supaya menulis kamu lebih rapi,” kata si Menteri, yang tidak menjelaskan mengapa wawancara eksklusif itu tidak dilakukan di Jakarta saja. Lalu, keduanya terpingkal-pingkal. Si Redaktur sama sekali tak keberatan di-kamu-kamukan oleh si Menteri, sedang dia sendiri selalu menyebut “Bapak” sebagai kata ganti kedua tunggal kepada si Menteri, bukan “Anda”, lebih-lebih “kamu”.

Tak usahlah dulu membahas tiket, kamar hotel, dan uang saku yang disediakan Pak Menteri. Tengoklah bolpoin cantik itu. Apakah bolpoin 15 juta rupiah yang si Redaktur termasuk suap ? Bukankah itu hanya sebuah bolpoin, sama-sama alat tulis, sebagaimana pena yang dibawa pulang sang wartawan muda dari jumpa pers?

Di waktu yang lain, seorang wartawan senior memenuhi undangan uji coba produk baru sebuah produsen mobil mewah. Test drive yang dilakukan bukanlah sekedar dari Jakarta ke Puncak, yang palinglama membutuhkan waktu beberapa jam. Liputan (kalau memang mau disebut liputan) test drive mobil mewah itu dilakukan di Finlandia, selama seminggu, dan tentu saja dengan tiket pesawat dan biaya akomodasi ditanggung pihak pengundang. Apakah ini termasuk suap?

Tak perlu buang waktu dan energy untuk memperdebatkannya. Baca saja ulasan si wartawan tentang test drive mobil mewah tersebut. Tak satu kalimat pun yang mempersoalkan produk baru itu tertulis di artikel si wartawan. Rangkaian kalimat demi kalimat dari awal hingga akhir artikel itu hanyalah puji-pujian. Dan, si wartawan sama sekali merasa tak bersalah telah menipu pembaca, dengan menyuguhkan iklan berbungkus artikel begitu. Padahal, pembaca tidak mendapatkan Koran itu dengan gratis, dan mereka mengeluarkan uang dan meluangkan waktu demi memperoleh informasi, bukan iklan.

Gunung yang besar memang selalu tampak anggun dan megah dari kejauhan. Sewaktu kita tiba di gunung tersebut, bau busuk dahsyat merebak di mana-mana….

Menjadi wartawan di Koran terbesar dan paling berpengaruh tersebut adalah obsesi Langit semasa bocah, sejak dia berusia Sembilan tahun. Dia masih duduk di kelas tiga SD ketika, tak tahu dari mana asal muasalnya, ketika dia mulai mengenal dan mengerti arti kata “wartawan”. Sejak saat itu, jika ditanya apa cita-citanya, sementara anak-anak lain-termasuk, sementara anak-anak lain-termasuk Matahari-memilih dokter atau polisi sebagai jawaban, dia dengan lantang akan menjawab “Wartawan!”

Ibu dan ayahnya tak pernah mengerti apa yang memicu si sulung itu bercita-cita menjadi wartawan. Meski begitu, mereka tak putus-putus menyemangatinya. Dia masih ingat, meski untuk makan sehari-hari saja sulit, ibunya mengadokannya tustel-tustelan saat dia berulang tahun kesepuluh.

Semasa bocah dulu, Matahari selalu saja berganti cita-cita. Pilot, dokter, guru, insinyur, hingga polisi, adalah cita-cita Matahari kecil. Sementara itu, dia, sejak kelas tiga SD itu hingga menyelesaikan kuliah, tak pernah mengubah wartawan sebagai pilihannya.

Dalam bayangan masa kecilnya, profesi wartawan, dengan jaket rompi, tustel menggantung di dada, serta notes dan pena di tangan, lebih gagah daripada tentara yang menyandang senapan, lebih mengasyikkan daripada dokter dengan stetoskop menggantung di leher.

Masa SMA adalah jembatan penting menuju obsesi-nya. Pada masa itu, dia habis-habisan mengasah bakat menulisnya. Meskipun memilih program fisika, beragam karya sastra lama dan modern dilahapnya habis. Iwan Simatupang seakan-akan menjadi Tuhan-nya saat itu, dan Ziarah seakan-akan menjadi kitab sucinya. Berbelas kali dia membaca ulang Ziarah yang begitu dikaguminya itu.

Sejak kelas satu, dia rutin menyumbangkan artikel dan cerpennya untuk majalah dinding SMA-nya. Dengan mesin tik pinjaman sana sini-sebelum Matahari membelikan dia sebuah mesin tik baru-dia pun mulai berani mengirimkan cerpennya ke majalah remaja di Jakarta. Persis di akhir kelas dua SMA, untuk kali pertama, karyanya dimuat di majalah. Selanjutnya, dia tidak menghitung berapa banyak cerpen dan artikelnya dimuat di berbagai majalah remaja. Persis sebelum dia lulus SMA, dua novel karyanya terbit. Tiga novel lainnya terbit saat dia kuliah.

Segala karyanya dari kelas satu SMA, deretan cerpen, cerbung, serial dan artikel, dan kelima novelnya, diarahkannya hanya ke satu tujuan : mengantarnya menjemput impian menjadi wartawan. Pada hari ketika obsesi itu berhasil dia wujudkan dan dia diterima sebagai staf redaksi Koran yang dia impi-impikan, bahagia dan tangisnya bercampur tanpa bisa disaksikan ibu-ayahnya. Ayahnya meninggal karena penyakit paru-paru saat dia duduk di kelas tiga SMA, ibunya tercinta menyusul satu setengah tahun kemudian.

Sejauh itu, gunung besar itu masih terlihat anggun dan megah, bahkan sewaktu dia menapakkan langkah pertama di lerengnya….

Setahun saja setelah dia, bersama 8 teman seangkatannya, lolos diterima sebagai reporter di harian itu-dari sekitar 900 pelamar-dia sudah bisa mencium bau busuk di tempat kerja yang selama belasan tahun menjadi obsesinya.

Dua tahun dia menjadi wartawan desk metro, sebelum di-rolling ke desk ekonomi. Di desk metro, sehari-hari dia akrab dengan mayat di Kamar Jenazah RSCM, keterangan pers humas Polda Metro Jaya dan Humas Mabes Polri, serta tempat-tempat kejadian perkara.

Dia ikut meliput rangkaian demonstrasi besar-besaran yang menuntut Soeharto turun dari jabatan Presiden. Dia meliput pendudukan Gedung MPR/DPR oleh mahasiswa, kerusuhan Semanggi, kerusuhan Trisakti, hingga kerusuhan etnis Mei 1998-dengan sepasang mata sipitnya itu.

Dia ikut menghitung ratusan mayat hangus korban kebakaran Slipi Maldan Yogya Departement Store di saat kerusuhan etnis itu terjadi, yang dating silih berganti ke Kamar Jenazah RSCM. Dia menyaksikan sejumlah mayat hangus yang masih mendekap kaleng susu bubuk hasil jarahan, serta tubuh-tubuh hangus lain yang meregang nyawa sambil berpelukan. Dia menyaksikan potongan tangan hangus entah milik siapa dan tengkorak kepala hangus entah milik siapa….

Onggokan-onggokan hitam serupa arang dengan bau amat menyengat yang sehari sebelumnya masihlah manusia itu dikubur secara missal di Pondok Rangon.

Di desk ekonomi, dia banyak berurusan dengan bank-bank yang dilikuidasi, bank-bank yang direkapitalisasi, dan debitor-debitor Badan Penyehatan Perbankan Nasional-BPPN. Saat itu, redaktur desk ekonomi adalah Arman Sogisih, dan dia adalah anak emas Arman. Dari waktu ke waktu, atas petunjuk dan instruksi Arman, dia yang masih tergolong wartawan baru habis-habisan menyikatdebitor-debitor curang dan sejumlah pejabat BPPN.

Setiap hari, dia pasti membawa pulang data baru yang menelanjangi dan menghuliti aksi licik debitor-debitor pengemplang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Dia juga memegang banyak data tentang aksi hanky-panky pejabat BPPN dengan obligor dan debitor yang ingin memiliki kembali asset mereka yang disita pemerintah denga harga murah.

Para debitor BPPN ketar-ketir, bahkan benci sekali, dengan keberadaan dirinya yang bisa muncul di mana saja kapan saja dengan data terperinci di tangan. Sementara itu, wartawan-wartawan media lain iri sekaligus kagum dengan data dan informasi akurat yang dimilikinya. Teman-temannya berseloroh, dia punya banyak nyawa cadangan, karena berani mengusik konglomerat-konglomerat yang dekat dengan penguasa.

Semua data dan informasi akurat yang dimilikinya itu pada awalnya tidak lepas dari peran Arman, yang mengarahkan ke mana dia harus bergerak, memetakan siapa kawan siapa lawan, serta menunjukkan siapa narasumber yang bisa dan mau membantu. Sejauh itu, Arman puas dengan hasil kerja dia.

‘berita lo bagus,” puji Arman hamper setiap malam selepas deadline. “Beda banget mengedit berita elu dengan berita anak-anak yang lain. Mengedit berita elu, aku nggak perlu kerja keras.”

Tentu saja dia merasa tak nyaman Arman kerap mengucapkan itu di depan wartawan-wartawan desk ekonomi yang lainnya.

“Elu wartawan muda yang bagus, aku yakin banget, kok, itu. Elu bahkan lebih baik daripada Bono dan Nusa!” Kalimat Arman itu membuat dia menoleh ke kiri dank e kanan, memastikan wartawan-wartawan lain, terlebih Bono dan Nusa yang lebih senior dari dia, tidak mendengar ucapan Arman.

“Besok berhenti dulu nyikat Dipasena. Pembaca jenuh kita nulis dipasena tiap hari. Coba elu mulai korek-korek texmaco….”

Sekali lagi, instruksi redakturnya itu membunyikan alarm di sudut kepalanya. Itu adalah untuk yang kesekian kalinya Arman meminta dia menghentikan liputan dan penulisan tentang licinnya permainan obligor dan debitor BPPN menghindari kewajiban membayar utang, sebelum investigasinya itu betul-betul tuntas.

Uli, seorang temannya yang bekerja untuk kantor berita asing, beberapa hari sebelumnya mengaku melihat Arman bersantap malam bersama beberapa orang kepercayaan, bos Dipasena, di Hotel Dharmawangsa.

“Gua nggak bilang si Arman macam-macam, lho. Bukannya suudzon. Gua Cuma bilang, dia dinner sama orang-orang Dipasena,” kata Uli.

Informasi Uli itu bukan informasi pertama yang dia terima tentang Arman. Desas-desus tak jelas lainnya menyebutkan, dirinya hanya dipakai Arman untuk menodong para konglomerat debitor BPPN, sebelum Arman mengajukan sebuah tawaran kepada si konglomerat. Jika konglomerat itu menolak tawaran Arman, Arman akan makin membabi buta menyerang si konglomerat. Jika si konglomerat setuju dengan tawaran Arman, demikian desas-desus itu, seketika tulisan yang menguliti si konglomerat akan dihentikan.

Dari Dini yang kebetulan bekerja di BPPN, dia mendengar bahwa Arman rutin menerima uang saku setiap bulan dari BPPN, dan bahwa Rivat Chotolitiswo, corporate secretary BPPN, masih memiliki hubungan family dengan Arman. Sayangnya, kakak Daria itu tidak dapat menunjukkan bukti hitam di atas putih transfer atau tanda terima uang saku bulanan untuk Arman.

Awalnya, Langit masih ragu bahwa semua itu hanyalah isapan jempol ulah orang-orang luar yang ingin menjatuhkan pamor Koran tempat dia bekerja. Dia ingat, Pak Bejo Okatama, lelaki sepuh pemilik Koran tempat dia bekerja, selalu saja berkata, “Makin besar sebuah pohon, makin besar angin yang menerpa. Kita seperti itu. You mesti sadar itu.”

Tapi, menyudahi liputan kasus tambak udang tersebut, persis setelah Uli melihat Arman bersantap malam dengan orang-orang Dipasena….? Batin dia. That explains things!

Beberapa kali, dengan berbagai alas an, dia menolak permintaan Arman untuk menghentikan investigasinya terhadap kasus yang sedang dia liput. Hasilnya, berita kelanjutan investigasinya itu tidak dimuat Arman.

Beberapa kali juga, dengan berbagai alasan, dia menolak permintaan Arman untuk mengungkap kasus baru yang disodorkan Arman. Hasilnya, semua berita dan artikel yang dia tulis tidak pernah Arman muat, juga dengan berbagai alas an. Sejauh dia menolak meliput kasus yang Arman sodorkan, tidak akan pernah ada beritanya yang akan dimuat Arman.

Arman bukanlah satu-satunya wartawan kotor di redaksinya. Masih banyak pemain kakap lain, wartawan-wartawan yang lebih senior daripada dia. Ada Bono sutana, yang menerima mobil Timor saat kasus penggelapan Pajak Penjualan Barang Mewah proyek mobil nasional itu mencuat; Vivi Ariring, yang di desk olahraga menerima receh rutin dari sejumlah atlet otomotif; Nusa Banda, yang dibuat kaya oleh sejumlah pengusaha property dan bisa sering-sering berpelesir ke luar negeri diongkosi oleh pengusaha-pengusaha property itu; hingga sang pemimpin redaksi, Putro Marsoyo, anak emas Pak Bejo yang merangkap menjadi “piaraan” sejumlah pejabat tinggi dan pengusaha papan atas.

Itulah mengapa Arman aman bermain di antara sesame pemain. Kelihaian yang sudah terasah bertahun-tahun membuat mereka bisa menutupi permainan masing-masing dengan amat rapi. Tahu sama tahu, saling pegang kartu, dan jangan pernah saling ganggu. Itulah kuncinya.

Selama satu tahun, Langit Cuma bisa berkeluh kesah mengenai sepak terjang Arman yang habis-habisan memperalat dia untuk memperkaya diri sendiri, tanpa bisa berbuat lain. Selain kepada Daria-nya, selama satu tahun itu, dia kerap juga mengeluarkan unek-uneknya kepada Sunu Aridji, salah seorang wartawan senior di desk ekonomi.

“sudah lama dia begitu, Kawan !” kata Sunu suatu hari, saat dia menyampaikan isu-isu miring tentang Arman yang semakin gencar dia dengar di luaran. “Kau kerja sajalah yang baik, karena kita memang nggak bisa berbuat lain. Dia itu redaktur, bos kita, Kawan. Seapanjang Pak Bejo masih menunjuk dia sebagai bos di desk ekonomi ini, mau apa kita?”

“Tapi gua benar-benar nggak betah, Bos, bekerja di bawah pimpinan yang nggak punya integritas seperti dia, yang justru memperalat gua untuk menodong kiri menginjak kanan.”

Sunu terkekeh. “Dulu, waktu aku baru masuk, aku sama persis seperti kau, Kawan. Idealism tinggi, meledak-ledak. Kau masih muda. Nanti, seiring umur kau bertambah, kau akan makin arif. Biarlah orang mau main kayak apa, yang penting kau tidak. Kerjalah baik-baik, Kawan. Yang santai sajalah.”

Enam bulan kemudian, Pak Bejo mengganti Arman. Ada yang bilang, sejumlah pengusaha melaporkan pemerasan yang dilakukan Arman terhadap mereka kepada anak sulung Pak Bejo. Selanjutnya, Pak Bejo menunjuk Sunu sebagai redaktur desk ekonomi pengganti Arman.

Beberapa bulan setelah itu, kembali desas-desus miring di luarana santer terdengar. Kali ini, tentang deal antara Sunu dengan direktur utama sebuah bank pemerintah untuk tidak memuat kasus pembobolan besar-besaran bank tersebut di halaman depan, dan tidak pula memuatnya menjadi headline halaman dalam. Awalnya, Langit tidak percaya waktu teman-temannya di luaran mengatakan, Sunu akan memiliki sebuah mobil baru yang dibelikan dirut bank pemerintah itu.

Tiga minggu setelah itu, sebuah Terrano hitam mulus menggantikan Starlet tua Sunu, terparkir di halaman samping redaksi. Langit meringis getir ketika dia pertama kali melihat mobil gagah Sunu itu.

Muak dari jenis paling hebat akibat suasana kerja kelewat busuk itulah yang membuat dia mendaftar program beasiswa master yang didanai Pemerintah Belanda. Berbekal skor international TOEFL pas-pasan sebesar 550, surat rekomendasi dari dua orang menteri anti-suap dan anti-korupsi dengan integritas yang sedikit pun tidak perlu diragukan, dan tentu saja dukungan semangat dari Daria, dia berharap bisa meninggalkan redaksi tempat dia bekerja untuk menghirup udara segar barang beberapa saat.





Sumber : Novel Kisah Langit Merah
Karya : Bubin Lantang
Penerbit : Gagasmedia
Tahun : 2009

Bidadari Itu Dibawa Jibril

Tuesday 19 April 2011

Sebelum jilbab populer seperti sekarang ini, Hindun sudah selalu memakai busana muslimah itu. Dia memang seorang muslimah taat dari keluarga taat. Meski mulai SD tidak belajar agama di madrasah, ketaatannya terhadap agama, seperti salat pada waktunya, puasa senin-kamis, salat dhuha, dan sebagainya, tidak kalah dengan mereka yang dari kecil belajar agama. Apalagi setelah di perguruan tinggi : dia justru mendapat kesempatan untuk lebih aktif lagi dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.

Dalam soal syariat agama, seperti banyak kaum muslimin kota yang sedang semangat-semangatnya ber-islam-ria, sikapnya tegas. Misalnya, bila dia melihat sesuatu yang menurut pemahamannya mungkar, dia tidak segan-segan menegur terang-terangan. Bila dia melihat kawan perempuannya yang muslimah-dia biasanya memanggilnya ukhti-jilbabnya kurang rapat, misalnya, langsung dia akan menyemprotnya dengan lugas. Dia pernah menegur dosennya yang dilihatnya sedang minum dengan memegang gelas tangan kiri. “Bapak kan muslim, mestinya bapak tahu soal tayammum,” katanya. “Nabi kita menganjurkan agar untuk melakukan sesuatu yang baik kita menggunakan tangan kanan.” Dosen yang lain ditegur terang-terangan karena merokok. “Merokok itu salah satu senjata setan untuk menyengsarakan anak Adam di dunia dan akherat. Sebagai dosen, Bapak tidak pantas mencontohkan hal buruk seperti itu.” Dia juga pernah menegur tewrang-terangan dosennya yang memelihara anjing. “Bapak tahu nggak ? Bapak kan muslim?! Anjing itu najis dan malaikat tidak mau dating ke rumah orang yang ada anjingnya!”

Di samping ketaatan dan kelugasannya, apabila bicara tentang islam, Hindun selalu bersemangat. Apalagi bila sudah bicara soal kemungkaran dan kemaksiatan yang merajalela di tanah air atau soal bid’ah yang menurutnya banyak dilakukan oleh orang-orang Islam, wah, dia akan berkobar-kobar bagaikan banteng luka. Apalagi bila melihat atau mendengar ada orang islam melakukan perbuatan yang menurutnya tidak rasional, langsung dia mencapnya sebagai klenik atau bahkan syirik yang harus diberantas. Dia pernah ikut menkoordinir berbagai demontrasi, seperti menuntut ditutupnya tempat-tempat yang disebutnya sebagai tempat-tempat maksiat; demonstrasi menentang sekolah yang melarang muridnya berjilbab; hingga demonstrasi menuntut diberlakukannya syareat Islam secara murni. Mungkin karena itulah, dia dijuluki kawan-kawannya si bidadari tangan besi. Dia tidak marah, tapi juga tidak kelihatan senang dijuluki begitu. Yang penting, menurutnya, orang Islam yang baik harus selalu menegakkan amar makruf nahi mungkar di mana pun berada. Harus membenci kaum yang ingkar dan nyeleweng dari rel agama. Bagi Hindun, amar makruf nahi munkar bukan sajamerupakan bagian dari keimanan dan ketakwaan, tapi juga bagian dari jihad fi sabilillah. Karena itu dia biarkan saja kawan-kawannya menjulukinya bidadari bertangan besi. Ketika beberapa lama kemudian dia menjadi isteri kawanku, Mas Danu, ketaatannya kian bertambah, tapi kelugasan dan kebiasaannya menegur terang-terangan agak berkurang. Mungkin ini disebabkan karena Mas Danu orangnya juga taat namun sabar dan lemah lembut. Mungkin dia sering melihat bagaimana Mas Danu, dengan kesabaran dan kelembutannya, justru lebih sering berhasil dalam melakukan amar makruf nahi munkar. Banyak kawan mereka yang tadinya mursal, justru menjadi insaf dan baik oleh suaminya yang lembut itu. Bukan oleh dia.

***

Sudah lama aku tidak mendengar kabar mereka, kabar Mas Danu dan Hindun. Dulu sering aku menerima telepon mereka. Sekedar silaturrahmi. Saling bertanya kabar. Tapi kemudian lama mereka tidak menelepon. Aku sendiri pernah juga beberapa kali menelepon ke rumah mereka, tapi selalu kalau tidak terdengar nada sibuk, ya tidak ada yang mengangkat. Karena itu ketika Mas Danu tiba-tiba menelepon, aku seperti mendapat kejutan yang menggembirakan. Lama sekali kami berbincang-bincang di telepon, melepas kerinduan.
Setelah saling tanya kabar masing-masing, Mas danu bilang, “Mas, sampeyan sudah dengar belum, Hindun sekarang punya syeikh baru lho?”
“Syeikh baru?” tanyaku. Mas Danu memang suka berkelakar.
“Ya, Syeikh baru. Tahu, siapa? Sampeyan pasti nggak percaya.”
“Siapa, Mas?” tanyaku benar-benar pingin tahu.
“Jibril, Mas. Malaikat Jibril!”
“Jibril?” Aku tak bias menahan ketawaku. Kadang-kadang sahabatku ini memang sulit dibedakan apakah sedang bercanda atau tidak.
“Jangan ketawa! Ini serius!”
“Wah. Katanya, bagaimana rupanya?” Aku masih kurang percaya.
“Dia tidak cerita rupanya, tapi katanya, Jibril itu humoris seperti sampeyan.”
Saya ngakak. Tapi di seberang sana Mas Danu kelihatannya benar-benar serius; jadi kutahan-tahan juga tawaku. “Bagaimana ceritanya, Mas?”
“Ya, mula-mula dia ikut grup pengajian. Kan di tempat kami sekarang lagi musim grup-grup pengajian. Ada pengajian eksekutif; pengajian seniman; pengajian pensiunan; dan pengajian entah apalagi. Nah, lama-lama gurunya itu didatangi malaikat Jibril dan sekarang malaikat Jibril itulah yang langsung mengajarkan ajaran-ajaran dari langit. Sedangkan gurunya itu hanya dipinjam mulutnya.
“Bagaimana mereka tahu bahwa yang dating itu malaikat Jibril?”
“Lho, malaikat Jibril-nya sendiri yang mengatakan kepada jamaahnya, gurunya itu, maksud saya malaikat Jibril itu, menunjukkan bukti berupa fenomena-fenomena alam yang ajaib yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia.”
“Ya, tapi jin dan setan kan bisa melakukan hal seperti itu, Mas!” aku menyela. “Kan ada cerita duluSyeikh Abdul Qadir Jailani, sufi yang termasyhur itu, pernah digoda Iblis yang menyamar sebagai Tuhan berbentuk cahaya yang terang benderang. Konon sebelumnya, Iblis sudah berhasil menjerumuskan 40 sufi dengan cara itu. Tapi karena keimanannya yang tebal, Syeikh Abdul Qadir bisa mengenalinya dan segera mengusirnya.
“Tak tahulah, Mas. Yang jelas jamaahnya banyak orang-orang pinternya lho.”
“Wah.”

Ketika percakapan akhirnya disudahi dengan janji dari Mas Danu bahwa dia akan terus menelepon bila sempat, aku masih tertegun. Aku membayangkan sang bidadari bertangan besi yang begitu tegar ingin memurnikan agama itu kini “hanya” menjadi pengikut sebuah aliran yang menurut banyak orang tidak rasional dan bahkan berbau klenik. Allah Maha Kuasa! Dialah yang kuasa menggerakkan hati dan pikiran orang.

***

Beberapa minggu kemudian aku mendapat telepon lagi dari sahabatku, Mas Danu. Kali ini dia bercerita tentang isterinya dengan nada seperti khawatir.
“Wah, Mas, Hindun baru saja membakar diri.”
“Apa, Mas?” Aku terkejut setengah mati. “Membakar diri bagaimana?”
“Gurunya yang mengaku titisan Jibril itu mengajak jamaahnya untuk membersihkan diri dari kekotoran-kekotoran dosa. Mereka menyiram diri mereka dengan spirtus, kemudian membakarnya.”
“Hei!” Aku ternganga. Dalam hati aku khawatir juga. Soalnya aku pernah mendengar, di luar negeri pernah terjadi jamaah diajak guru mereka bunuh diri.
“Yang lucu, Mas,” suara Mas Danu terdengar lagi melanjutkan, “gurunya itulah yang paling banyak terbakar bagian tubuhnya. Berarti kan dia yang paling banyak dosanya ya, mas?”
Aku mengangguk, lupa bahwa kami sedang bicara via telepon.
“Doakan sajalah, Mas!” kata sahabatku di seberang menutup pembicaraan.

Beberapa hari kemudian Mas Danu menelpon lagi, menceritakan bahwa isterinya kini jarang pulang. Katanya ada tugas dari Syeikh Jibril yang mengharuskan jamaahnya berkumpul di suatu tempat. Tugas berat tapi suci. Memperbaiki dunia yang sudah rusak ini.
“Pernah pulang sebentar, Mas,” kata Mas Danu di telpon, “dan sampeyan tahu apa yang dibawanya? Dia pulang sambil memeluk anjing. Entah dapat dari mana.”

***

Setelah itu, Mas Danu tidak pernah menelepon lagi. Aku mencoba menghubunginya dan tidak pernah berhasil. Baru hari ini, tak ada hujan tak ada angin, aku menerima pesan di HP-ku, SMS, isinya singkat : “Mas, Hindun sekarang sudah keluar dari Islam. Dia sudah tak berjilbab, tak salat, tak puasa. (Danu).”
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mas Danu saat menulis SMS itu. Aku sendiri yang menerima pesan itu tidak bisa menggambarkan perasaanku sendiri. Hanya dari mulutku meluncur saja ucapan Masya Allah.

***


Sumber : kumpulan cerpen “Lukisan Kaligrafi’ karya A. Mustofa Bisri. Penerbit Buku Kompas Jakarta, September 2003

Total Pageviews

Powered by Blogger.

Followers