FUNERAL

Thursday 26 May 2011



Lord, I know when I lay down to sleep
You will always listen as I pray.
--"One Sweet day", Mariah Carey
Aku masih ingin menikmati lebih lama lagi
Zahra menatap wajah Daffa yang terbujur kaku dengan mata tertutup. begitu tenang, seperti sedang tertidur dan tak terganggu. Wajahnya berseri dan bibirnya menyunggingkan senyum. Subhanallah! Zahra berulang kali mengerjapkan mata dan Daffa benar-benar tersenyum. Tidak ada ketakutan, tidak ada keraguan. Daffa telah pergi menghadap-Nya.
Setelah dimandikan dan dikafani, Daffa dibaringkan di atas keranda yang masih terbuka. Beberapa karangan bunga datang. Krisna menyalami dan mempersilakan para keluarga, kerabat, dan tetangga datang untuk melihat Daffa terakhir kalinya. Mereka memenuhi ruang tamu dan ruang tengah sambil membacakan doa dengan sudut mata berkaca-kaca. Samar-samar terdengar isak tangis. Krisna sengaja memindahkan rumah duka ke rumah Mama Zahra. Selain karena rumah Mama berada di dekat TPU dan rumah sakit, juga bersebelahan dengan masjid.
Sejenak Krisna menghela napas panjang. Dia merasakan sakit yang begitu hebat dan gelombang kepanikan yang dia yakin akan membuatnya ikut mati tenggelam. satu-satunya kenyataan yang dia bisa lihat sekarang adalah istrinya. Kesedihan di wajah Zahra adalah cerminan di wajahnya sendiri.
Mama Zahra dan Yuri, adik Zahra, mengenakan baju serba hitam, mereka menangis. Mama menyandarkan tubuhnya pada pundak Yuri. Tante Marisa, adik Mama, terlihat sedang berbicara dengan Baba Zahra dengan suara pelan di dekat pintu masuk. Keluarga Krisna tidak banyak yang datang, mungkin karena rumah mereka jauh. Hanya terlihat beberapa sepupu sedang membacakan doa dengan mata merah.
Putri, anak pertama Yuri, duduk di pangkuan Zahra. Matanya menatap sekeliling dengan tatapan aneh, sebelah tangannya menggenggam erat tangan tantenya yang dingin. Zahra tidak dapat membuka mulutnya, seolah masih merasakan keterkejutan akan semua ini. Hidupnya seperti mengambang, tidak menapaki kenyataan. Dia dan Khrisna kehilangan Daffa, tepat di hari ulang tahun anak itu. Baju dan celana putranya yang penuh darah disimpannya di mobil, bajunya sendiri masih sempat dikenakannya, sebelum Mama menyuruhnya mandi.
"Mama Ara, Mas Daffa mana ? Puti mau ajak Mas Daffa maen sepeda." Putri menoleh pada tantenya dengan tatapan polosnya.
"Mas Daffa sudah pergi, sayang." Tubuh Zahra bergetar mengucapkannya, suara yang baru keluar seperti bukan suaranya. Pahit. "Tetapi, Mas Daffa tetap sayang sama Princess."
"Puti mau Mas Daffa main sama Puti sekarang." Suara Putri terdengar hampir menangis. Zahra memegang lengan Putri, menenangkan keponakannya itu, sekaligus menenangkan dirinya sendiri. "Mama Ara juga mau, Sayang, tapi nggak bisa."
"Kalau besok bisa Mama Ara?"
"Nggak bisa, Sayang. Mas Daffa pergi selamanya."
"Selamanya?"
Zahra mengangguk, lagi-lagi berusaha mengatakan kata itu untuk dirinya sendiri. Dipeluknya Putri erat, membiarkan rasa perih ditahannya di sana.
Rombongan teman-teman Daffa didampingi dua Ibu guru memasuki rumah. Anak-anak kecil itu tak sabar mengerumuni keranda. Mereka dengan tertib duduk bersimpuh, mengikuti orang-orang dewasa di sekeliling, mengangkat kedua tangan untuk berdoa. Mulut-mulut kecil itu berkomat-kamit. Ada yang melirik ke teman di sebelahnya, ada yang duduk tidak tenang. Sungguh, pemandangan itu membuat Zahra rindu pada Daffa. Dia ingat betul Daffa begitu bersemangat berangkat sekolah mengenakan seragam putih-hijau dan tas Spongebob yang baru dibeli. Hari ini, seharusnya mereka datang untuk melihat Daffa tiup lilin, bukan melihat jasadnya yang terbujur tak bernyawa. Kejadian ini tidak pernah dibayangkannya, tidak pernah dipikirkannya. Zahra benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
"Bu Guru, di surga ada tempat mainnya nggak?" tanya seorang gadis kecil yang rambutnya dikuncir dua. Melihat Ibu guru hanya tersenyum, dia langsung berbalik menatap jasad Daffa. "Nanti di surga kita main lagi ya, Fa!"
Hati Zahra terguncang hebat. Dia tidak menangis. beberapa hal yang menyedihkan membuatnya terus menahan tangis. Dalam benaknya, Zahra masih tidak percaya Daffa benar-benar telah tiada. Dia merasa putranya ada di sekitarnya, menatap sambil tersenyum manis. Sangat manis. Ruangan ini bukan dipenuhi tangis dan air mata, melainkan balon-balon, badut, dan suara kaset anak-anak. Dibayangkannya, balon-balon yang sudah disiapkannya dari seminggu lalu di rumah tak sempat ditiup, juga topi ulang tahun pun hanya teronggok di sudut rumah, tak tersentuh. Zahra tidak berani memikirkan segala hal buruk, terlebih mengingat Daffa berlumuran darah di pinggir trotoar. Dia ingin mengingat semua senyum dan kebahagiaan yang dipancarkan makhluk mungil itu.
"Sabar ya, Bu," kata Bu Asih, salah satu dari kedua ibu guru, seraya merangkul Zahra. Seorang lagi mengusap punggungnya, berharap dapat menenangkan hati Zahra.
Kuatkan hati ini, Tuhan, desis Zahra. Dia menarik napas dalam, menahan desakan jiwanya. Dia kuat. Sangat kuat menghadapi ini. Zahra berusaha meneguhkan itu. Tuhan memberikan nyawa, Tuhan yang memberikan napas, Tuhan yang memberikan hidup, dan kepada-Nya pulalah kita kembali.
**
Setelah lubang kubur tertutup menjadi gundukan tanah. Bebarapa penggali kubur memasang nisan di atasnya. Terpal dilipat dan orang-orang mengeluarkan payung karena gerimis turun. Zahra mulai menaburkan bunga dan air bunga di atas gundukan tanah sambil mengucapkan doa-doa. Krisna berdiri di sampingnya.
"Apa dia akan baik-baik saja, Mas?" ucap Zahra pada Krisna pelan. Tuhan, dia merasa hidupnya berakhir, sama seperti berakhirnya kebersamaan dengan Daffa.
Krisna merengkuh bahu istrinya. Dia menelan ludah, menahan sakitnya sendiri.
"Apa dia akan merindukan kita?" Suara Zahra bergetar. "Hari ini, dia ulang tahun, Mas. Ulang tahunnya yang ke lima."
Krisna tidak menjawab, tercekat. Matanya sudah dipenuhi air mata. Dia memeluk erat-erat tubuh istrinya yang lunglai.
Kami lupa jalan mana yang membawa kami menuju kebahagiaan.
Malam sudah larut saat Krisna dan Zahra pulang. Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Krisna khawatir melihat istrinya, sejak tadi pandangannya kosong dan terus diam. Di mobil, hanya terdengar suara helaan napas dan radio yang sengaja dikecilkan volumenya. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka meski mata keduanya memancarkan keresahan yang sama.
"Kamu mau makan dulu, Ra? tanya Krisna.
Zahra tidak menanggapi dan sepertinyas juga tidak mendengar pertanyaan suaminya. Mereka duduk bersebelahan, tapi masih tidak mengatakan apa-apa. Diam-diam, Krisna pun merasa lukanya ikut terkorek--rasa sakit, kenangan, dan kepedihan. Namun, dia tidak mempunyai pilihan, dia mesti bertahan hidup walaupun berat, bukan hanya untuk dirinya sendiri, juga untuk istrinya.
"Ra...." Krisna menyentuh punggung tangan Zahra.
Perempuan itu langsung menoleh, terkejut. "Kenapa, Mas?"
"Kamu mau makan dulu atau langsung pulang? Nasi goreng dekat rumah kayaknya udah buka."
"Langsung pulang aja, Mas. Hujan. Kasihan Daffa---" Zahra menghentikan kata-katanya. "Maaf, Mas. Aku ---"
Krisna tersenyum. "Nggak apa-apa, Ra." Dia kembali mengusap punggung istrinya, berusaha menenangkan.
Zahra kembali dalam lamunan. Matanya mengarah pada lampu-lampu jalan dalam balutan hujan. Hatinya dipenuhi berbagai perasaan yang berkecamuk. Segala hal seperti garis putus-putus. Kalau ditanya siapa yang menyukai keadaan ini, jawabannya pasti tidak ada. "Mas....."
"Ya?"
"Mengapa semua ini terjadi pada kita, Mas? Mengapa kita tak selamanya bahagia?" tanya Zahra dengan pandangan kosong.
Sekilas, melalui sudut matanya, Krisna melirik perempuan di sampingnya. "Semua ada porsinya, Ra. Porsi bahagia, porsi sedih, porsi kecewa. Kalau kita makan kekenyangan, pasti nggak bisa jalan atau muntah. Dan, kalau kita terlalu bahagia, bisa-bisa kita jatuh saat kebahagiaan itu hilang."
"Kenapa setiap jiwa harus pulang, Mas?" Suara Zahra terdengar sangat datar.
Krisna menautkan alis, bingung. "Maksudmu?"
Zahra menggeleng. Nggak apa-apa. Pikiranku lagi kacau aja."
Krisna mendesah pelan. Dia kembali melirik Zahra yang masih menatap hujan dengan tatapan kosong. Tatapan yang jarang dia lihat. Tatapan yang membuat khawatir karena tatapan itu terlihat kesepian. Benarkah semua ini terjadi karena Zahra? batin Krisna bergelut. Dia tahu kesedihan, rasa kehilangan, dan ketidakterimaan istrinya atas semua ini. Hatinya juga tidak bisa melihat ini semua terjadi dan tidak tahu apa yang harus dia lakukan melihat sopir mikrolet yang menundukkan kepala, meminta maaf padanya. Dia ingin memukul, dia ingin membalas semua kekesalan dan kemarahannya. Tapi, semua itu tidak bisa mengembalikan Daffa.
Tiba-tiba, mata Zahra dipenuhi air lagi. " Aku mau Daffa, Mas....." Dia menutupi muka dengan kedua tangan.
Udara semakin dingin, Krisna mematikan AC mobil. Dengan lembut, tangan laki-laki ini mengusap rambut Zahra. Krisna pun ingin menangis, ingin memeluk erat Zahra, ingin memberi tahu kalau semua akan baik-baik saja. Namun sisi hatinya yang lain tahu kalau semua tidak baik-baik saja. Sisi hatinya itu terus mencari penyebab kehilangan yang ia derita, mengutuki penyebab direnggutnya kebahagiaan mereka.
**
Sesampainya di rumah, Zahra langsung bersandar di sofa panjang ruang tamu tanpa berkata apa-apa. Krisna meneguk segelas air dan menggunakan gelas yang sama untuk Zahra minum. Istrinya diam saja dan meminum pelan-pelan. Rumah ini sepi.
"Kamu istirahat, ya?" Krisna mengusap punggung tangan Zahra.
Zahra mengembalikan gelas di tangannya, lalu melangkah ke kamar daffa. Kamar yang didominasi warna biru muda dan wallpaper bintang, lengkap dengan tempat tidur single bed, lemari, dan kotak-kotak mainan. Zahra duduk di atas tempat tidur dan mengelus seprai. Matanya menelusuri mainan yang berserakan di atas karpet, foto-foto, dan baju yang belum sempat dimasukkan ke lemari. Zahra mengambil selimut kesayangan Daffa dan menempelkan ke wajah. Aroma yang sangat dia kenal langsung masuk ke hidungnya. Seluruh penjuru rumah tiba-tiba sepi.
Daffa sudah pergi.
Dia telah kehilangan.
Air mata Zahra menetes lagi. Sebuah kenyataan pahit harus diterimanya. Dia tidak bisa lagi bermain tebak kata dengan Daffa, tidak bisa lagi mendengar celotehnya, tidak bisa lagi mengusap punggungnya saat tidur, tidak bisa lagi menatap mata beningnya, tidak bisa lagi memeluknya, tidak bisa melihat wajah cerianya. Tidak bisa. Semua hanya tinggal kenangan.
"Daffa mau jadi atronout, biar bisa bawa Bunda dan Ayah ke bintang..."
Air mata Zahra terus mengalir saat kata-kata itu terngiang. Namun, satu hari dalam kehidupan mereka, mengubah keinginan Daffa. Satu hari yang sungguh tidak diharapkan. Satu hari yang memisahkan mereka.
"Mau mi rebus, Ra? Aku buatin, ya?" Krisna terseyum di sudut pintu.
"Aku nggak lapar, Mas." Zahra masih memegang selimut Daffa.
Semua terasa gelap. Segelap malam yang menaungi kamar Daffa saat ini. Zahra mengusap selimut putranya. Bibirnya bergetar. Daffa begitu menyayangi selimut ini, sampai-sampai dia pernah tidak berhenti menangis karena selimutnya diganti. Zahra berganti menatap baju dan mainan-mainan Daffa. Dia merapikan satu per satu, mengembalikan ke tempatnya.
"Ra, kue ulang tahun Daffa mau diapain? Aku taruh kulkas aja, ya?" tanya Krisna.
Zahra menatap suaminya sejenak, lalu pergi ke dapur. Melihat langkah terburu-buru Zahra, Krisna merasa salah bicara. Seharusnya, dia tidak perlu menanyakan itu sekarang. Di dapur, Zahra sibuk menancapkan lilin di atas kue ulang tahun itu dan menyalakannya. Foto Daffa di tengah kue seakan bercahaya. Wajah mungil itu terlihat berseri bahagia.
"Daffa mau merayakan ulang tahun di kebun belakang, Mas," ujar Zahra parau.
"Tapi, sekarang mendung, Ra." Krisna terlihat gusar.
Zahra seakan tidak peduli kata-kata laki-laki ini. Dia membawa kue ulang tahun ke kebun belakang. Di sana, ada sebuah pendopo di tengah kolam. Rumput-rumput basah oleh sisa hujan terasa dingin.
Lima menit.
Sepuluh menit.
Hingga setengah jam berlalu.
Zahra termenung memandangi kue ulang tahun Daffa yang dihiasi angka lima di atasnya. Lilin itu padam tanpa pernah ditiup. Krisna menyalakan kembali lilin itu, lalududuk berhadapan dengan istrinya.
"Happy birthday, Daffa. Happy birthday, Daffa. Happy birthday, Happy birthday, Happy birthday, Daffa...." Krisna meniup lilinnya.
Zahra tersenyum. "Dia bahagia, Mas. Dia bahagia bisa ulang tahun bersama bintang-bintang."
"We'll be fine, Ra. I promise." Krisna merasa jantungnya berdegup kencang, menimbulkan ngilu. Dipandanginya Zahra dan menemukan luka di sana. Bagaimana dia bisa berjanji seperti itu?. Bagaimana kalau keadaan memang tidak akan baik-baik saja? Dia tidak tahu berapa lama mereka mampu bertahan dalam keadaan ini. Sepertinya, sulit untuk membayangkan semua akan membaik lagi karena beban ini akan mereka bawa selama-lamanya. Mereka tidak akan pernah memiliki Daffa lagi. Tidak. Akan selalu ada lubang di hati mereka masing-masing.
**


Setelah Zahra masuk kamar, Krisna duduk di sofa ruang tengah dengan pikiran kosong. Matanya menatap langit-langit, dinding yang dipenuhi gambar-gambar Daffa, dan lantai berdebu karena mereka seharian kemarin terlalu sibuk di rumah sakit, juga tidak ada pembantu. Seharusnya, dia tidak menyetujui Zahra membawa Daffa ke tempat penjual sepeda lebih awal. Seharusnya, dia pulang cepat dan mengantar mereka. Seharusnya.....
Krisna mengintip Zahra melalui celah pintu. Istrinya hanya berbaring di tempat tidur. Selimut ditarik hingga kepala, membungkus seluruh tubuh dan menangis di baliknya. Krisna masuk ke ruang tamu, menelepon keluarga di Yogya untuk mengabarkan berita duka Daffa. Seharusnya, dia menelepon mereka tadi pagi, tapi dia tahu benar sifat Ibu. Dia meraih ponsel dan mulai memencet nomor.
Ana yang menjawab telepon. Krisna sedikit lega mendengar suaranya, tidak ingin Ibu panik, lalu berusaha menasihati dan mengomeli. Dia tidak ingin mendengar itu sekarang.
"Kenapa, Kris?" tanya Ana saat mendengar Krina mengucapkan salam. Mendengar napas adiknya yang berat, Ana tahu ada yang tidak beres terjadi sehingga dia bertanya lagi, "Kenapa, Kris? Semua sehat, kan ?"
"Daffa meninggal subuh tadi, Mbak," ujar krisna.
Di seberang sana, Ana terdiam. Ia terlalu syok untuk dapat berkomentar.
"Sekarang, sudah dimakamkan. Maaf, aku baru mengabari. Mbak tahu sendiri gimana Ibu, kan? Aku nggak mau Zahra tambah down."
"Kenapa? Daffa sakit?"
"Kecelakaan, Mbak." Krisna memejamkan mata saat mengucapkannya.
"sekarang Zahra bagaimana?"
"Zahra baik-baik saja, Mbak. Tolong sampaikan ke Ibu, ya." Krisna buru-buru menutup telepon saat merasakan matanya penuh lagi oleh air yang menetes tanpa henti. Dia berusaha mengecilkann suara supaya Zahra tidak mendengarnya menangis. Semuanya akan dimulai detik ini, saat sepi mulai menyergap daan tidak ada lagi tawa yang mengisi setiap sudut rumah.
Krisna menyalakan TV. Acara-acara hiburan menawarkan senyuman padanya. Namun, siapa yang ingin tersenyum di saat pahit seperti ini? Rasanya, semua salah. Dimatikannya TV dan bersandar pada sofa. Dia tidak perlu lagi memberi tahu Daffa kalau sudah memesan sepeda dan badut untuk acara hari ini. Kue ulang tahun pun tidak tersentuh lagi. Hidup sudah mulai berubah.

Sumber :
Novel : Rindu
Karya : Sefryana Khairil
Penerbit : Gagas Media
Tahun : 2010


Total Pageviews

Powered by Blogger.

Followers