IKONOGRAFI

Thursday 5 May 2011

….ALAT YANG DIALOGIS datang dari sifat satria dan wigati. Yaitu sifat-sifat yang tidak memegahkan diri.

Ada dua kata yang aku suka dari khotbah di bukit. Parang Jati menggunakan kata “satria” dan “wigati”. Ketika itu aku tak mengerti kenapa ia tidak memilih bentuk maskulin “wigata”. Wigati, atau wigata seperti yang terdaftar dalam kamus Jawa Kuna, mengandung sikap peduli, merawat, memperhatikan, memelihara. Belakangan, dalam perenunganku ketika menuliskan kembali cerita ini, pelan-pelan aku terbukakan bahwa Parang Jati memiliki sikap yang tetap mengenai pembedaan sifat jenis kelamin.
Parang jati percaya bahwa dalam dirinya, seperti dalam diri segala zat, terdapat perempuan dan lelaki bersama-sama, dan keadaan inilah yang menjadikan sesuatu netral. Ia menggunakan paduan “satria dan wigati” barangkali untuk menegaskan keberadaan dua unsur itu.
Kata “wigati” atau “wigata”, nyaris tidak dapat dipakai dalam bahasa Indonesia. Kecuali dalam nama-nama orang. Itupun tidak umum. Kata “satria” hidup dalam bahasa Indonesia. Tapi dengan memudarnya cahaya pewayangan (berkat listrik dan televisi kuntilanak), kata “satria” menjadi kurang berarti. Satria tidak lagi bermakna sebagai sikap, melainkan sebagai benda. Ia menjadi kata benda. Seperti satria dalam dongeng Cinderella dan segala dongeng istana, atau kata “satria” daalam kompleks kesatrian militer. Kita tidak bisa mengaitkan kata ini dengan sebuah sikap hidup sehari-hari. Sama sekali tak bisa dalam konteks begini. Tapi, dalam khotbah di bukitnya, secara istimewa Parang Jati kembali menghidupkan “satria” sebagai sebuah laku. Sebuah kata sifat.
Sesungguhnya , beberapa dekade lalu ketika pewayangan masih merupakan falsafah, satria adalah sebuah sikap hidup yang diutamakan. Orang Jawa sangat mengagungkan sifat-sifat satria. Setidaknya dalam ideal hidup, jika tidak bisa dalam praktik. Dulu, bahkan ketika aku sedang melakoni cerita ini, aku tak begitu peduli dengan wayang kulit. Apakah ikonografi-nya. Aku tak peduli kenapa Arjuna digambarkan seperti itu, Bima seperti anu, Semar begini dan Limbuk begitu. Semakin lama semakin menarik bagiku cara orang Jawa menatahkan idealisasi ke dalam ikonografi; cara orang Jawa “mendagingkan” sifat-sifat itu dalam bentuk wayang kulitnya.
Tentu saja aku senang bahwa penggambaran tubuh satria sangat menyerupai stilisasi tubuh para pemanjat. Ramping liat, bukan kekar perkasa. Satria memiliki bahu nan lebar dan pinggang nan sempit, dan penghubung antara bahu dan pinggang itu adalah garis lengkung ke dalam, yang menciptakan dada tidak membusung. Agaknya, pada waktu itu dada cembung dianggap lambing sifat congkak sehingga para seniman Jawa menggunakan bentuk cekung yang membersahajakan dada. Ini sangat berbeda dengan idealisasi tubuh jantan yang diciptakan dalam ikon-ikon budaya massa Amerika. Superman, Batman, Sylvester “Rambo” Stallone, Mr. Universe Arnold Schwarzenegger berbaris di satu garis yang membentang dari titik khayal ke titik nyata. Tubuh atlit panjat menyerupai idealisasi satria wayang. Mereka berdada tipis berbanding bahu yang demikian lebar. Seorang pemanjat tak mungkin mengembangkan dada mengkal jika ia tidak melakukan latihan beban terpisah. Tapi dada mengkal itu tidak dibutuhkan juga untuk memanjat. Dia hanya asesoris, dibutuhkan untuk menyenangkan perempuan. Karena itu aku melatihnya secara khusus.
Sekarang, dengan heran, aku mengagumi ikonografi wayang kulit Jawa. Dulu aku meremehkannya mungkin lantaran orang-orang tua kolot itu terlalu mengagungkannya. Setelah orang-orang tua kolot itu tak bergigi lagi barulah aku bisa melihat betapa artistic sesungguhnya stilisasi dan simbolisasi dalam wayang kulit. Dan aku merasa heran karenanya. Ya, karena kini aku bisa melihat keindahan ikonografi itu. Dengan mata kepalaku. Bukan karena percaya pada kata orang bahwa wayang itu indah.
Islam masuk dalam jumlah yang sangat pas dalam wayang kulit Jawa. Sempurna. Sungguh, aku lebih mengagumi wayang kulit Jawa ketimbang Bali atau daratan Asia yang lain. Bali memiliki keunggulannya sendiri dalam banyak hal. Tapi dalam hal wayang kulit, setulusnya bagiku Jawa adalah istimewa. Justru karena pengaruh Islam. Dalam kadar yang pas. Islam melarang penggambaran manusia dan hewan. Menanggapi itu, para seniman melakukan stilisasi sehingga wayang kulit Jawa menjadi tak lagi realis. Dan disitulah letak keindahannya. Setiap seni golek dan boneka yang realis akan tampak kekanak-kanakan. Tapi wayang kulit Jawa mengatasi infantilitas itu justru karena meninggalkan bentuk realisnya. Karena ini pula wayang Jawa bisa menampung filsafat yang lebih luas ketimbang yang bisa disampaikan dongeng binatang yang banyak disampaikan wayang Asia Tenggara daratan yang lebih realis.
Di sini aku takhjub, betapa negosiasi antara Islam dan kejawaan menndapat bentuk yang adil. Atau, jika memakai periwicara Parang Jati dalam Khotbah di bukit, terjadi dialog antara Islam dan kejawaan. Seperti, katanya dengan bagus, ada dua jenis alat : alat yang memaksa dan alat yang dialogis. Alat yang memaksa adalah bor, paku, piton, pasak, palu, yang secara prinsipil tidak berbeda dari alat perusak yang lain, seperti dinamit untuk menghancurkan tebing batu, atau tangga dan lampu yang mengubah goa Petruk menjadi tempat wisata murahan dan hancur-hancuran. Alat yang dialogis adalah pengaman sisip, pegas, perangko, dan segala yang tidak merusak alam. Alat yang memaksa datang dari sikap rakus dan jumawa. Alat yang dialogis dating dari sikap satria dan wigati. Rakus, aku berani bertaruh, berasal dari stem yang sama dengan raksasa. Ya, aku berani taruhan, rakus, rusak, dan raksasa memiliki akar yang sama.
Raksasa, dalam pewayangan, adalah lawan dari satria. Mereka digambarkan dengan tubuh besar, wajah tegak atau mendongak, mata melotot, hidung besar, mulut seringai, juga kidal. Mulut seringai itu tentu mendapatkan modelnya dari jenis anjing-anjingan. Bukan karena dengan sendirinya anjing adalah makhluk jahat, melainkan karena anjing memiliki gerak motorik yang kasar. Begigas gergasi. Anjing tak membungkus emosi dan nafsu-nafsunya. Selalu bisa dibaca dari gerak ekornya, posisi telinganya, mata, mulut, dan seluruh polah tubuhnya. Jika dibaca dengan cara lain, anjing lebih jujur. Kucing, meski hewan itu tidak berguna dan tidak setia, dan lebih suka mencuri disbanding anjing, memiliki gerak motorik yang sangat halus dan terkontrol. Mereka juga memiliki mulut yang mungil. Moncong anjing akan selalu mengingatkan kita pada gerak-gerik kasar. Cocok dengan gerak-gerik raksasa. Di sini, ikonografi tidak selalu bicara soal substansi atau moral, melainkan soal bentuk dan gerak. Bentuk dan gerak, tanpa moral tertentu. Tentulah saya berani bertaruh lagi bahwa kasar, rakus, rusak, raksasa, mengandung akar yang sama untuk menggambarkan bentuk yang sama. Yaitu rksrk.
Satria digambarkan dengan tubuh ramping, kepala sedikit menunduk dengan profil halus, gambaran sifat tahu batas, tidak gelojoh, dan rendah hati. Toh para pewayang tetap membuka diri pada pencitraan khusus. Ada juga beberapa satria yang ditatahkan dalam tubuh besar menyerupai rksrk bergigi karnivora. Pencitraan ini ada pada, misalnya, Kumbakarna, Bima, dan Gatotkaca. Mereka, yang berwujud kasar namun berhati murni. Kebajikan jenis lain, yaitu yang berada di luar kesatriaan, muncul juga melalui para punakawan, diwujudkan dalam mata bulat serta tubuh yang tidak ideal. Tubuh para badut, tubuh domestic, yang tak terlatih oleh disiplin dan latihan. Semar yang bulat pendek dan putra-putranya yang berperut lembek bahkan berkaki pincang. Petruk, Gareng, Bagong. Mereka memelihara jenis kebajikannya sendiri. Kebajikan makhluk-makhluk tanpa keanggunan, bahkan buruk rupa. Kebajikan yang bersahaja. Kebajikan rakyat jelata.
Aku tentu saja mengidentikkan kelompokku dengan para satria. Kami terlatih dalam sebuah disiplin ekspedisi. Disiplin itu pada gilirannya membentuk tubuh kami. Tubuh dating bersama sikap hidup tertentu. Dan aku memuja kesatriaan.

Tapi lelaki yang kabarnya mati digigit anjing itu tak bisa mengingatkan aku pada dunia wayang sama sekali. Ia tak memiliki stilisasi sedikitpun. Ia sungguh banal, seperti sinetron. Manakala aku mengamati Parang Jati dan teman-temanku, aku bisa menerapkan wujud-wujud estetika dan ikonografi pewayangan pada mereka. Tapi, ketika aku melangkah ke dalam rumah layat itu, aku seperti masuk kea lam televise. Segalanya sungguh banal. Mentah. Tanpa pengolahan. Tanpa penghalusan. Bahkan dengan penggandaan kementahan itu. Sebuah… reality show. Sekali lagi, aku tak sedang bicara soal substansi atau moral, melainkan bentuk.
Sampai sekarang aku mengingatnya dalam cahaya reality show. Yaitu, cahaya dari lampu sorot kamera digital yang keras dan tak berbelas kasih. Cahaya yang membuat manusia tampak buruk-kantung mata menjadi tebal, pori-pori dan segala bopeng terlihat lebar, dan sela-sela gigi menjadi hitam—kecuali jika orang menutup mulut dan mengenakan riasan panggung. Dan, sekalipun orang telah mengunci mulut dan mengenakan pulasan pentas, sinar lampu bidik itu tetap membuat manusia tampak datar, kehilangan kedalaman, dengan demikian kehilangan jiwa. Manusia menjadi seperti gambar bergerak tanpa ruh. Lampu kamera bertolak belakang dengan cahaya sentir pertunjukan wayang, yang bersahaja dan berayun-ayun, yang memaksa kita mencari kedalaman dalam baying-bayang. Tapi desa ini telah kehilangan kebersahajaan. Sejak listrik masuk. Kau tahu aku benci listrik. Makhluk ini mengacaukan keheningan malam.
Seseorang telah memasang pengeras suara. Ayat-ayat merayap ke jalan-jalan yang masih gelap, menyelinap di antara rumpun-rumpun bambu. Parang Jati memarkir sepeda di depan rumah yang tak buruk untuk ukuran desa. Rumah dengan dua kamar tidur, sebuah ruang tamu yang berfungsi untuk menerima tamu sekaligus makan di atas tikar, serta dapur kecil di belakang. Sumur dan peturasan pastilah masih terpisah dari bangunan.
Kami melepas alas kaki di depan teras, dan dunia menjadi gaib begitu kami melangkah ke dalam rumah. Di ruang utama terbujur sosok itu. Seseorang membuka kembali kain batik penutup wajah si jenazah, entah bagi kami atau bagi orang lain. Seketika terdengar perempuan menjerit. Orang-orang nyebut. Suara mereka bergairah sekaligus tercekik, menimbulkan perpaduan ganjil antara kepuasan dan kengerian. Perpaduan rasa seram dan puas itu menghirup bulu kudukku. Wajah jenazah terdadah di hadapanku sekarang. Aku bergidik, lebih kepada diriku sendiri daripada kepada apa yang tampak. Tengkukku meremang menyadari bahwa seluruh kepalaku tiba-tiba menjelma kamera tayangan realita, yang keras dan tak berbelas kasih. Lensa mataku memfokus dan diagframanya menyesuaikan cahaya. Dan ketika obyek telah dibidik, perekam berputar seolah tak mau berhenti mencari ketajaman. Proses mekanis ini lebih menakutkan daripada apa yang sesungguhnya kulihat atau kudengar.
Bau kapur barus, pengusir lalat dan ngengat dari jenazah. Sejumput bubuk kopi taburan. Setelah sejenak buram ketika fokus belum ditemukan, pelan-pelan tampaklah wajah itu, yang tersisa dari tubuh yang terbungkus kafan. Sinar yang keras membuat segala yang buruk terungkap. Lelaki itu mestilah mati dengan menit-menit menyakitkan. Matanya masih separuh mendelik dan mulutnya berjejak seringai. Kulitnya keunguan, bercarutan bopeng dan bintil-bintil. Barangkali sejak hidupnya ia berjerawat dan bertahilalat, atau pernah terkena cacar (yang anehnya tak pernah kuperhatikan saat berpapasan dulu). Tapi kudengar orang-orang berbisik bahwa semua itu baru tumbuh semenjak ia sekarat. Ada yang berkata bahwa, lihatlah, bintil dan keropeng itu masih terus berbiak sekarang. Dan jika ia tak segera dimakamkan, kita akan melihat bahwa tubuhnya terus berproses. Dari bintil-bintil itu akan keluar ular-ular sebesar telunjuk. Lekas, lekas kuburkan dia.
Tapi, yang paling horor dalam pengalamanku adalah menyadari betapa kepalaku sendiri berubah menjadi kamera sataniah itu. Kepalaku menyorot, membidik, merekam ghambar yang sampai sekarang tak bisa kuhapuskan. Kesadaran ini membuat rasa ingin muntah. Kesadaran bahwa aku tak beda dari televise. Pada sebuah detik yang lalai aku mencobamenghentikan perekam otomatis itu dengan menoleh ke Parang Jati. Kulihat wajahnya dingin. Tapi dari matanya yang kehilangan sirat bidadari kukira ia menyembunyikan rasa terkejut. Ia menoleh sekilas kepadaku dan berbisik menang, “Sudah saya bilang tadi. Berbahagialah orang yang tak perlu melihat tapi percaya saja.”
Humor tipisnya membebaskan aku dari kamera kuntilanak yang barusan mencekat kepalaku. Aku merasa lega karena bisa menatap kea rah lain. Kulihat seorang penghulu membacakan doa agak jauh dari keranda. Dalam ingatanku sekarang, ia satu-satunya orang dalam ruangan yang bisa mengembalikan aku pada ikonografi pewayangan, membebaskan aku sejenak dari kenyataan reality show. Manusia-manusia lain di tempat ini sungguh hiperrealis seperti tayangan televise. Mentah dalam kaca pembesar. Inilah definisi hiperrealita : realita yang disampaikan dalam cahaya yang berlebihan dan skala diperbesar berlipat-lipat. Kenyataan yang dilihat dalam sedikitnya seribu wat dan zum sepuluh kali. Si penghulu adalah yang berada dalam cahaya dan ukuran wajar, dan merupakansatu-satunya sosok yang memiliki stilisasi.
Ia mengingatkan aku pada Semar. Sebagai badut, rakyat, dan abdi, ia bertubuh bulat pendek. Tapi ia juga penasihat nan hikmat. Bahkan wakil hati nurani. Semar memiliki mata bijak orang tua, dengan kelopak yang layu, yang membuatnya sendu dan bukan jelahat. Sang penghulu tampak bersahaja. Ia mengenakan sarung, kemeja batik, dan peci yang telah lusuh.
Tiba-tiba masuklah seorang pemuda yang sangat mencolok. Ia mengejutkan aku karena mengubah tayangan realita ini menjadi sebuah sinetron hidayah. Tokoh yang masuk ini mestinya hanya mungkin ada dalam film yang diturunkan dari animasi. Ia mengenakan baju putih-putih Diponegoro, namun dengan rompi panjang berbahan kulit yang membuatnya tampak bagai pendekar Tartar dalam kisah fantasi. Ia mengenakan kasut dengan tali-temali hingga ke lutut. Ia tidak mengenakan turban putih, melainkan sebuah topi yang sangat istimewa. Penghias kepala itu terbuat dari bahan yang menyerupai bulu kelinci hitam, seperti pada kopiah, namun dengan jahitan sedemikian rupa sehingga mirip rambut surai-surai pada tokoh komik Jepang. Ia memiliki wajah tampan yang cocok dengan penampilan itu. Hidungnya tegas dan matanya panjang, bibirnya berbentuk amat baik lagi kemerahan, tanda ia masih muda, bukan petani, dan tidak merokok. Ia juga memiliki sederet gigi yang rapi. Jika ia anak desa, mestilah ia mendapatkannya secara alamiah. Jika ia anak kota, kemungkinan itu pekerjaan ortodonti. Sesuatu padanya mengesankan bahwa ia datang dari desa ini, meski sesuatu lain mengubahnya menjadi makhluk manga.
“Berbahagialah orang yang tidak melihat tapi percaya. Tapi, percayakah kau pada yang kau lihat sekarang?” bisikku pada Parang Jati.
“Saya kenal dia. Namanya Kupukupu. Dulu. Sekarang sudah ganti nama.”
Kupukupu hanya bisa diterangkan dalam ikonografi komik Jepang. Atau tiruan manga yang sekarang meraja di Indonesia.
Malam itu begitu aneh, seperti sebuah kisah sinetron yang tak masuk akal. Orang-orang masih melantunkan yasin ketika Kupukupu mengambil mikrofon begitu saja dan membuat maklumatnya sendiri. Ia mengumumkan bahwa pamannya, lelaki yang mati itu, tidak pantas disembahyangkan dan tak boleh dimakamkan dengan cara Islam. Sebab, lelaki itu telah musyrik. Ia telah mempersekutukan Allah selama hidupnya. Ia bahkan telah membikin perjanjian dengan setan. Kupukupu membeberkan bahwa pamannya telah menjalankan laku sesat ini bertahun-tahun padahal ia telah memperingatkan lelaki ini berkali-kali. Pamannya melakukan tapa dan mempersembahkan sesajen di Watugunung. Ia memiliki ilmu hitam dan bisa berubah menjadi hewan jejadian. Harimau jadian. Babi ngepet. Ayam pelung yang berkokok malam hari. Tapi Tuhan menunjukkan kebesaran-Nya dan menghukum dia melalui binatang hina dina.
“Seekor anjing buduk menggigitnya dan ia mati karena itu!” katanya dengan nyaring.
Aku tak bisa melupakan cara bicaranya. Sungguh gaya actor hidayah yang begitu yakin bahwa ia membawakan kebenaran bahkan ketika berada diluar adegan.
Sang penghulu yang telah lepas dari rasa terkejut kini mendekati dia. Aku menamainya Penghulu Semar. Lelaki yang jauh lebih tua itu berbicara dengan bahasa Jawa halus, lalu mereka bercakap-cakap dengan karma. Samar-samar aku menangkap usaha pria itu untuk mengingatkan si anak muda agar menghargai suasana duka dengan bersikap santun. Kira-kira ia berkata, siapakah kita ini sehingga berhak menghakimi yang menjadi hak Allah?
Tapi Kupukupu mengutip, “Janganlah kamu sekali-sekali menyembahyangkan jenazah orang musyrik…”
“Ya, ya. Bapak ini juga tahu ayat itu,” kata penghulu Semar. “Tapi hal itu menjadi pengetahuan Gusti Allah semata. Lagi pula, kita ini warga desa. Seluruh warga desa ikhlas untuk menyembahyangkan almarhum, Nak.”
“Ustadz jangan meyebut dia almarhum. Almarhum hanya untuk orang muslim. Dia telah musyrik.”
Suasana menjadi tegang karena Kupukupu tidak mau membiarkan orang-orang bersembahyang. Di antara pelayat, aku melihat dua tiga orang yang mulai setuju pada perkataan Kupukupu, meskipun mereka tak mau berbicara dengan keras. Tanpa pendukung pun, kekerasan hati Kupukupu untuk menghalangi pemakaman cukup membuat keadaan semakin genting.
Puncak ketegangan mala mini berakhir ketika kepala desa dating dengan beberapa orang hansip. Ia mengenakan batik dan para hansip berseragam hijau muda. Si kepala desa itu bertubuh bulat dan bermuka bundar, sedikit lebih tinggi dari Penghulu Semar. Tapi matanya bulat melotot dan moncongnya sedikit lebih maju ketimbang hidungnya. Ia mengingatkan aku pada BVilung, yaitu Punakawan yang berada di pihak raksasa. Jika Semar mewakili ketulusan nurani, Bilung mewakili pertimbangan pragmatis. Ia menghindari benturan dan memilih melakukan tawar-menawar dengan pemuda Kupukupu. Keputusan yang menurutku tak seharusnya.
Karena hati batu si anak muda seorang diri, keluarga dan kepala desa sepakat untuk tidak memakamkan jenazah malang itu di pemakaman desa. Pemuda K berhasil memaksakan kehendaknya, meski tidak seluruh tuntutannya. Sebagai penonton, sungguh aku tak mengerti mengapa istri mendiang dan para petinggi desa mengalah pada satu pemuda eksentrik yang hanya bisa diterangkan dalam ikonografi komik hibrida.
Kulihat arak-arakan keranda pergi dengan obor-obor menuju sebuah hutan di kaki Watugunung. Setetes air jatuh di alisku.



Sumber :



Novel : Bilangan Fu
Karya : Ayu Utami
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, 2008











































2 comments:

maya putri said...

ngga ngerti kak :p karya sastra banget nih, ntar ya ku copy, trus dibaca pelan2

ion_why said...

hahha... iya setuju, may. bukunya juga tebel kok may. tokoh utamanya seorang pemanjat tebing. isi novelnya campuran antara adat budaya ,agama,mistik,dll.

trims sudah mampir ke sini :D

Post a Comment

Total Pageviews

Powered by Blogger.

Followers