FUNERAL

Thursday 26 May 2011



Lord, I know when I lay down to sleep
You will always listen as I pray.
--"One Sweet day", Mariah Carey
Aku masih ingin menikmati lebih lama lagi
Zahra menatap wajah Daffa yang terbujur kaku dengan mata tertutup. begitu tenang, seperti sedang tertidur dan tak terganggu. Wajahnya berseri dan bibirnya menyunggingkan senyum. Subhanallah! Zahra berulang kali mengerjapkan mata dan Daffa benar-benar tersenyum. Tidak ada ketakutan, tidak ada keraguan. Daffa telah pergi menghadap-Nya.
Setelah dimandikan dan dikafani, Daffa dibaringkan di atas keranda yang masih terbuka. Beberapa karangan bunga datang. Krisna menyalami dan mempersilakan para keluarga, kerabat, dan tetangga datang untuk melihat Daffa terakhir kalinya. Mereka memenuhi ruang tamu dan ruang tengah sambil membacakan doa dengan sudut mata berkaca-kaca. Samar-samar terdengar isak tangis. Krisna sengaja memindahkan rumah duka ke rumah Mama Zahra. Selain karena rumah Mama berada di dekat TPU dan rumah sakit, juga bersebelahan dengan masjid.
Sejenak Krisna menghela napas panjang. Dia merasakan sakit yang begitu hebat dan gelombang kepanikan yang dia yakin akan membuatnya ikut mati tenggelam. satu-satunya kenyataan yang dia bisa lihat sekarang adalah istrinya. Kesedihan di wajah Zahra adalah cerminan di wajahnya sendiri.
Mama Zahra dan Yuri, adik Zahra, mengenakan baju serba hitam, mereka menangis. Mama menyandarkan tubuhnya pada pundak Yuri. Tante Marisa, adik Mama, terlihat sedang berbicara dengan Baba Zahra dengan suara pelan di dekat pintu masuk. Keluarga Krisna tidak banyak yang datang, mungkin karena rumah mereka jauh. Hanya terlihat beberapa sepupu sedang membacakan doa dengan mata merah.
Putri, anak pertama Yuri, duduk di pangkuan Zahra. Matanya menatap sekeliling dengan tatapan aneh, sebelah tangannya menggenggam erat tangan tantenya yang dingin. Zahra tidak dapat membuka mulutnya, seolah masih merasakan keterkejutan akan semua ini. Hidupnya seperti mengambang, tidak menapaki kenyataan. Dia dan Khrisna kehilangan Daffa, tepat di hari ulang tahun anak itu. Baju dan celana putranya yang penuh darah disimpannya di mobil, bajunya sendiri masih sempat dikenakannya, sebelum Mama menyuruhnya mandi.
"Mama Ara, Mas Daffa mana ? Puti mau ajak Mas Daffa maen sepeda." Putri menoleh pada tantenya dengan tatapan polosnya.
"Mas Daffa sudah pergi, sayang." Tubuh Zahra bergetar mengucapkannya, suara yang baru keluar seperti bukan suaranya. Pahit. "Tetapi, Mas Daffa tetap sayang sama Princess."
"Puti mau Mas Daffa main sama Puti sekarang." Suara Putri terdengar hampir menangis. Zahra memegang lengan Putri, menenangkan keponakannya itu, sekaligus menenangkan dirinya sendiri. "Mama Ara juga mau, Sayang, tapi nggak bisa."
"Kalau besok bisa Mama Ara?"
"Nggak bisa, Sayang. Mas Daffa pergi selamanya."
"Selamanya?"
Zahra mengangguk, lagi-lagi berusaha mengatakan kata itu untuk dirinya sendiri. Dipeluknya Putri erat, membiarkan rasa perih ditahannya di sana.
Rombongan teman-teman Daffa didampingi dua Ibu guru memasuki rumah. Anak-anak kecil itu tak sabar mengerumuni keranda. Mereka dengan tertib duduk bersimpuh, mengikuti orang-orang dewasa di sekeliling, mengangkat kedua tangan untuk berdoa. Mulut-mulut kecil itu berkomat-kamit. Ada yang melirik ke teman di sebelahnya, ada yang duduk tidak tenang. Sungguh, pemandangan itu membuat Zahra rindu pada Daffa. Dia ingat betul Daffa begitu bersemangat berangkat sekolah mengenakan seragam putih-hijau dan tas Spongebob yang baru dibeli. Hari ini, seharusnya mereka datang untuk melihat Daffa tiup lilin, bukan melihat jasadnya yang terbujur tak bernyawa. Kejadian ini tidak pernah dibayangkannya, tidak pernah dipikirkannya. Zahra benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
"Bu Guru, di surga ada tempat mainnya nggak?" tanya seorang gadis kecil yang rambutnya dikuncir dua. Melihat Ibu guru hanya tersenyum, dia langsung berbalik menatap jasad Daffa. "Nanti di surga kita main lagi ya, Fa!"
Hati Zahra terguncang hebat. Dia tidak menangis. beberapa hal yang menyedihkan membuatnya terus menahan tangis. Dalam benaknya, Zahra masih tidak percaya Daffa benar-benar telah tiada. Dia merasa putranya ada di sekitarnya, menatap sambil tersenyum manis. Sangat manis. Ruangan ini bukan dipenuhi tangis dan air mata, melainkan balon-balon, badut, dan suara kaset anak-anak. Dibayangkannya, balon-balon yang sudah disiapkannya dari seminggu lalu di rumah tak sempat ditiup, juga topi ulang tahun pun hanya teronggok di sudut rumah, tak tersentuh. Zahra tidak berani memikirkan segala hal buruk, terlebih mengingat Daffa berlumuran darah di pinggir trotoar. Dia ingin mengingat semua senyum dan kebahagiaan yang dipancarkan makhluk mungil itu.
"Sabar ya, Bu," kata Bu Asih, salah satu dari kedua ibu guru, seraya merangkul Zahra. Seorang lagi mengusap punggungnya, berharap dapat menenangkan hati Zahra.
Kuatkan hati ini, Tuhan, desis Zahra. Dia menarik napas dalam, menahan desakan jiwanya. Dia kuat. Sangat kuat menghadapi ini. Zahra berusaha meneguhkan itu. Tuhan memberikan nyawa, Tuhan yang memberikan napas, Tuhan yang memberikan hidup, dan kepada-Nya pulalah kita kembali.
**
Setelah lubang kubur tertutup menjadi gundukan tanah. Bebarapa penggali kubur memasang nisan di atasnya. Terpal dilipat dan orang-orang mengeluarkan payung karena gerimis turun. Zahra mulai menaburkan bunga dan air bunga di atas gundukan tanah sambil mengucapkan doa-doa. Krisna berdiri di sampingnya.
"Apa dia akan baik-baik saja, Mas?" ucap Zahra pada Krisna pelan. Tuhan, dia merasa hidupnya berakhir, sama seperti berakhirnya kebersamaan dengan Daffa.
Krisna merengkuh bahu istrinya. Dia menelan ludah, menahan sakitnya sendiri.
"Apa dia akan merindukan kita?" Suara Zahra bergetar. "Hari ini, dia ulang tahun, Mas. Ulang tahunnya yang ke lima."
Krisna tidak menjawab, tercekat. Matanya sudah dipenuhi air mata. Dia memeluk erat-erat tubuh istrinya yang lunglai.
Kami lupa jalan mana yang membawa kami menuju kebahagiaan.
Malam sudah larut saat Krisna dan Zahra pulang. Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Krisna khawatir melihat istrinya, sejak tadi pandangannya kosong dan terus diam. Di mobil, hanya terdengar suara helaan napas dan radio yang sengaja dikecilkan volumenya. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka meski mata keduanya memancarkan keresahan yang sama.
"Kamu mau makan dulu, Ra? tanya Krisna.
Zahra tidak menanggapi dan sepertinyas juga tidak mendengar pertanyaan suaminya. Mereka duduk bersebelahan, tapi masih tidak mengatakan apa-apa. Diam-diam, Krisna pun merasa lukanya ikut terkorek--rasa sakit, kenangan, dan kepedihan. Namun, dia tidak mempunyai pilihan, dia mesti bertahan hidup walaupun berat, bukan hanya untuk dirinya sendiri, juga untuk istrinya.
"Ra...." Krisna menyentuh punggung tangan Zahra.
Perempuan itu langsung menoleh, terkejut. "Kenapa, Mas?"
"Kamu mau makan dulu atau langsung pulang? Nasi goreng dekat rumah kayaknya udah buka."
"Langsung pulang aja, Mas. Hujan. Kasihan Daffa---" Zahra menghentikan kata-katanya. "Maaf, Mas. Aku ---"
Krisna tersenyum. "Nggak apa-apa, Ra." Dia kembali mengusap punggung istrinya, berusaha menenangkan.
Zahra kembali dalam lamunan. Matanya mengarah pada lampu-lampu jalan dalam balutan hujan. Hatinya dipenuhi berbagai perasaan yang berkecamuk. Segala hal seperti garis putus-putus. Kalau ditanya siapa yang menyukai keadaan ini, jawabannya pasti tidak ada. "Mas....."
"Ya?"
"Mengapa semua ini terjadi pada kita, Mas? Mengapa kita tak selamanya bahagia?" tanya Zahra dengan pandangan kosong.
Sekilas, melalui sudut matanya, Krisna melirik perempuan di sampingnya. "Semua ada porsinya, Ra. Porsi bahagia, porsi sedih, porsi kecewa. Kalau kita makan kekenyangan, pasti nggak bisa jalan atau muntah. Dan, kalau kita terlalu bahagia, bisa-bisa kita jatuh saat kebahagiaan itu hilang."
"Kenapa setiap jiwa harus pulang, Mas?" Suara Zahra terdengar sangat datar.
Krisna menautkan alis, bingung. "Maksudmu?"
Zahra menggeleng. Nggak apa-apa. Pikiranku lagi kacau aja."
Krisna mendesah pelan. Dia kembali melirik Zahra yang masih menatap hujan dengan tatapan kosong. Tatapan yang jarang dia lihat. Tatapan yang membuat khawatir karena tatapan itu terlihat kesepian. Benarkah semua ini terjadi karena Zahra? batin Krisna bergelut. Dia tahu kesedihan, rasa kehilangan, dan ketidakterimaan istrinya atas semua ini. Hatinya juga tidak bisa melihat ini semua terjadi dan tidak tahu apa yang harus dia lakukan melihat sopir mikrolet yang menundukkan kepala, meminta maaf padanya. Dia ingin memukul, dia ingin membalas semua kekesalan dan kemarahannya. Tapi, semua itu tidak bisa mengembalikan Daffa.
Tiba-tiba, mata Zahra dipenuhi air lagi. " Aku mau Daffa, Mas....." Dia menutupi muka dengan kedua tangan.
Udara semakin dingin, Krisna mematikan AC mobil. Dengan lembut, tangan laki-laki ini mengusap rambut Zahra. Krisna pun ingin menangis, ingin memeluk erat Zahra, ingin memberi tahu kalau semua akan baik-baik saja. Namun sisi hatinya yang lain tahu kalau semua tidak baik-baik saja. Sisi hatinya itu terus mencari penyebab kehilangan yang ia derita, mengutuki penyebab direnggutnya kebahagiaan mereka.
**
Sesampainya di rumah, Zahra langsung bersandar di sofa panjang ruang tamu tanpa berkata apa-apa. Krisna meneguk segelas air dan menggunakan gelas yang sama untuk Zahra minum. Istrinya diam saja dan meminum pelan-pelan. Rumah ini sepi.
"Kamu istirahat, ya?" Krisna mengusap punggung tangan Zahra.
Zahra mengembalikan gelas di tangannya, lalu melangkah ke kamar daffa. Kamar yang didominasi warna biru muda dan wallpaper bintang, lengkap dengan tempat tidur single bed, lemari, dan kotak-kotak mainan. Zahra duduk di atas tempat tidur dan mengelus seprai. Matanya menelusuri mainan yang berserakan di atas karpet, foto-foto, dan baju yang belum sempat dimasukkan ke lemari. Zahra mengambil selimut kesayangan Daffa dan menempelkan ke wajah. Aroma yang sangat dia kenal langsung masuk ke hidungnya. Seluruh penjuru rumah tiba-tiba sepi.
Daffa sudah pergi.
Dia telah kehilangan.
Air mata Zahra menetes lagi. Sebuah kenyataan pahit harus diterimanya. Dia tidak bisa lagi bermain tebak kata dengan Daffa, tidak bisa lagi mendengar celotehnya, tidak bisa lagi mengusap punggungnya saat tidur, tidak bisa lagi menatap mata beningnya, tidak bisa lagi memeluknya, tidak bisa melihat wajah cerianya. Tidak bisa. Semua hanya tinggal kenangan.
"Daffa mau jadi atronout, biar bisa bawa Bunda dan Ayah ke bintang..."
Air mata Zahra terus mengalir saat kata-kata itu terngiang. Namun, satu hari dalam kehidupan mereka, mengubah keinginan Daffa. Satu hari yang sungguh tidak diharapkan. Satu hari yang memisahkan mereka.
"Mau mi rebus, Ra? Aku buatin, ya?" Krisna terseyum di sudut pintu.
"Aku nggak lapar, Mas." Zahra masih memegang selimut Daffa.
Semua terasa gelap. Segelap malam yang menaungi kamar Daffa saat ini. Zahra mengusap selimut putranya. Bibirnya bergetar. Daffa begitu menyayangi selimut ini, sampai-sampai dia pernah tidak berhenti menangis karena selimutnya diganti. Zahra berganti menatap baju dan mainan-mainan Daffa. Dia merapikan satu per satu, mengembalikan ke tempatnya.
"Ra, kue ulang tahun Daffa mau diapain? Aku taruh kulkas aja, ya?" tanya Krisna.
Zahra menatap suaminya sejenak, lalu pergi ke dapur. Melihat langkah terburu-buru Zahra, Krisna merasa salah bicara. Seharusnya, dia tidak perlu menanyakan itu sekarang. Di dapur, Zahra sibuk menancapkan lilin di atas kue ulang tahun itu dan menyalakannya. Foto Daffa di tengah kue seakan bercahaya. Wajah mungil itu terlihat berseri bahagia.
"Daffa mau merayakan ulang tahun di kebun belakang, Mas," ujar Zahra parau.
"Tapi, sekarang mendung, Ra." Krisna terlihat gusar.
Zahra seakan tidak peduli kata-kata laki-laki ini. Dia membawa kue ulang tahun ke kebun belakang. Di sana, ada sebuah pendopo di tengah kolam. Rumput-rumput basah oleh sisa hujan terasa dingin.
Lima menit.
Sepuluh menit.
Hingga setengah jam berlalu.
Zahra termenung memandangi kue ulang tahun Daffa yang dihiasi angka lima di atasnya. Lilin itu padam tanpa pernah ditiup. Krisna menyalakan kembali lilin itu, lalududuk berhadapan dengan istrinya.
"Happy birthday, Daffa. Happy birthday, Daffa. Happy birthday, Happy birthday, Happy birthday, Daffa...." Krisna meniup lilinnya.
Zahra tersenyum. "Dia bahagia, Mas. Dia bahagia bisa ulang tahun bersama bintang-bintang."
"We'll be fine, Ra. I promise." Krisna merasa jantungnya berdegup kencang, menimbulkan ngilu. Dipandanginya Zahra dan menemukan luka di sana. Bagaimana dia bisa berjanji seperti itu?. Bagaimana kalau keadaan memang tidak akan baik-baik saja? Dia tidak tahu berapa lama mereka mampu bertahan dalam keadaan ini. Sepertinya, sulit untuk membayangkan semua akan membaik lagi karena beban ini akan mereka bawa selama-lamanya. Mereka tidak akan pernah memiliki Daffa lagi. Tidak. Akan selalu ada lubang di hati mereka masing-masing.
**


Setelah Zahra masuk kamar, Krisna duduk di sofa ruang tengah dengan pikiran kosong. Matanya menatap langit-langit, dinding yang dipenuhi gambar-gambar Daffa, dan lantai berdebu karena mereka seharian kemarin terlalu sibuk di rumah sakit, juga tidak ada pembantu. Seharusnya, dia tidak menyetujui Zahra membawa Daffa ke tempat penjual sepeda lebih awal. Seharusnya, dia pulang cepat dan mengantar mereka. Seharusnya.....
Krisna mengintip Zahra melalui celah pintu. Istrinya hanya berbaring di tempat tidur. Selimut ditarik hingga kepala, membungkus seluruh tubuh dan menangis di baliknya. Krisna masuk ke ruang tamu, menelepon keluarga di Yogya untuk mengabarkan berita duka Daffa. Seharusnya, dia menelepon mereka tadi pagi, tapi dia tahu benar sifat Ibu. Dia meraih ponsel dan mulai memencet nomor.
Ana yang menjawab telepon. Krisna sedikit lega mendengar suaranya, tidak ingin Ibu panik, lalu berusaha menasihati dan mengomeli. Dia tidak ingin mendengar itu sekarang.
"Kenapa, Kris?" tanya Ana saat mendengar Krina mengucapkan salam. Mendengar napas adiknya yang berat, Ana tahu ada yang tidak beres terjadi sehingga dia bertanya lagi, "Kenapa, Kris? Semua sehat, kan ?"
"Daffa meninggal subuh tadi, Mbak," ujar krisna.
Di seberang sana, Ana terdiam. Ia terlalu syok untuk dapat berkomentar.
"Sekarang, sudah dimakamkan. Maaf, aku baru mengabari. Mbak tahu sendiri gimana Ibu, kan? Aku nggak mau Zahra tambah down."
"Kenapa? Daffa sakit?"
"Kecelakaan, Mbak." Krisna memejamkan mata saat mengucapkannya.
"sekarang Zahra bagaimana?"
"Zahra baik-baik saja, Mbak. Tolong sampaikan ke Ibu, ya." Krisna buru-buru menutup telepon saat merasakan matanya penuh lagi oleh air yang menetes tanpa henti. Dia berusaha mengecilkann suara supaya Zahra tidak mendengarnya menangis. Semuanya akan dimulai detik ini, saat sepi mulai menyergap daan tidak ada lagi tawa yang mengisi setiap sudut rumah.
Krisna menyalakan TV. Acara-acara hiburan menawarkan senyuman padanya. Namun, siapa yang ingin tersenyum di saat pahit seperti ini? Rasanya, semua salah. Dimatikannya TV dan bersandar pada sofa. Dia tidak perlu lagi memberi tahu Daffa kalau sudah memesan sepeda dan badut untuk acara hari ini. Kue ulang tahun pun tidak tersentuh lagi. Hidup sudah mulai berubah.

Sumber :
Novel : Rindu
Karya : Sefryana Khairil
Penerbit : Gagas Media
Tahun : 2010


IKONOGRAFI

Thursday 5 May 2011

….ALAT YANG DIALOGIS datang dari sifat satria dan wigati. Yaitu sifat-sifat yang tidak memegahkan diri.

Ada dua kata yang aku suka dari khotbah di bukit. Parang Jati menggunakan kata “satria” dan “wigati”. Ketika itu aku tak mengerti kenapa ia tidak memilih bentuk maskulin “wigata”. Wigati, atau wigata seperti yang terdaftar dalam kamus Jawa Kuna, mengandung sikap peduli, merawat, memperhatikan, memelihara. Belakangan, dalam perenunganku ketika menuliskan kembali cerita ini, pelan-pelan aku terbukakan bahwa Parang Jati memiliki sikap yang tetap mengenai pembedaan sifat jenis kelamin.
Parang jati percaya bahwa dalam dirinya, seperti dalam diri segala zat, terdapat perempuan dan lelaki bersama-sama, dan keadaan inilah yang menjadikan sesuatu netral. Ia menggunakan paduan “satria dan wigati” barangkali untuk menegaskan keberadaan dua unsur itu.
Kata “wigati” atau “wigata”, nyaris tidak dapat dipakai dalam bahasa Indonesia. Kecuali dalam nama-nama orang. Itupun tidak umum. Kata “satria” hidup dalam bahasa Indonesia. Tapi dengan memudarnya cahaya pewayangan (berkat listrik dan televisi kuntilanak), kata “satria” menjadi kurang berarti. Satria tidak lagi bermakna sebagai sikap, melainkan sebagai benda. Ia menjadi kata benda. Seperti satria dalam dongeng Cinderella dan segala dongeng istana, atau kata “satria” daalam kompleks kesatrian militer. Kita tidak bisa mengaitkan kata ini dengan sebuah sikap hidup sehari-hari. Sama sekali tak bisa dalam konteks begini. Tapi, dalam khotbah di bukitnya, secara istimewa Parang Jati kembali menghidupkan “satria” sebagai sebuah laku. Sebuah kata sifat.
Sesungguhnya , beberapa dekade lalu ketika pewayangan masih merupakan falsafah, satria adalah sebuah sikap hidup yang diutamakan. Orang Jawa sangat mengagungkan sifat-sifat satria. Setidaknya dalam ideal hidup, jika tidak bisa dalam praktik. Dulu, bahkan ketika aku sedang melakoni cerita ini, aku tak begitu peduli dengan wayang kulit. Apakah ikonografi-nya. Aku tak peduli kenapa Arjuna digambarkan seperti itu, Bima seperti anu, Semar begini dan Limbuk begitu. Semakin lama semakin menarik bagiku cara orang Jawa menatahkan idealisasi ke dalam ikonografi; cara orang Jawa “mendagingkan” sifat-sifat itu dalam bentuk wayang kulitnya.
Tentu saja aku senang bahwa penggambaran tubuh satria sangat menyerupai stilisasi tubuh para pemanjat. Ramping liat, bukan kekar perkasa. Satria memiliki bahu nan lebar dan pinggang nan sempit, dan penghubung antara bahu dan pinggang itu adalah garis lengkung ke dalam, yang menciptakan dada tidak membusung. Agaknya, pada waktu itu dada cembung dianggap lambing sifat congkak sehingga para seniman Jawa menggunakan bentuk cekung yang membersahajakan dada. Ini sangat berbeda dengan idealisasi tubuh jantan yang diciptakan dalam ikon-ikon budaya massa Amerika. Superman, Batman, Sylvester “Rambo” Stallone, Mr. Universe Arnold Schwarzenegger berbaris di satu garis yang membentang dari titik khayal ke titik nyata. Tubuh atlit panjat menyerupai idealisasi satria wayang. Mereka berdada tipis berbanding bahu yang demikian lebar. Seorang pemanjat tak mungkin mengembangkan dada mengkal jika ia tidak melakukan latihan beban terpisah. Tapi dada mengkal itu tidak dibutuhkan juga untuk memanjat. Dia hanya asesoris, dibutuhkan untuk menyenangkan perempuan. Karena itu aku melatihnya secara khusus.
Sekarang, dengan heran, aku mengagumi ikonografi wayang kulit Jawa. Dulu aku meremehkannya mungkin lantaran orang-orang tua kolot itu terlalu mengagungkannya. Setelah orang-orang tua kolot itu tak bergigi lagi barulah aku bisa melihat betapa artistic sesungguhnya stilisasi dan simbolisasi dalam wayang kulit. Dan aku merasa heran karenanya. Ya, karena kini aku bisa melihat keindahan ikonografi itu. Dengan mata kepalaku. Bukan karena percaya pada kata orang bahwa wayang itu indah.
Islam masuk dalam jumlah yang sangat pas dalam wayang kulit Jawa. Sempurna. Sungguh, aku lebih mengagumi wayang kulit Jawa ketimbang Bali atau daratan Asia yang lain. Bali memiliki keunggulannya sendiri dalam banyak hal. Tapi dalam hal wayang kulit, setulusnya bagiku Jawa adalah istimewa. Justru karena pengaruh Islam. Dalam kadar yang pas. Islam melarang penggambaran manusia dan hewan. Menanggapi itu, para seniman melakukan stilisasi sehingga wayang kulit Jawa menjadi tak lagi realis. Dan disitulah letak keindahannya. Setiap seni golek dan boneka yang realis akan tampak kekanak-kanakan. Tapi wayang kulit Jawa mengatasi infantilitas itu justru karena meninggalkan bentuk realisnya. Karena ini pula wayang Jawa bisa menampung filsafat yang lebih luas ketimbang yang bisa disampaikan dongeng binatang yang banyak disampaikan wayang Asia Tenggara daratan yang lebih realis.
Di sini aku takhjub, betapa negosiasi antara Islam dan kejawaan menndapat bentuk yang adil. Atau, jika memakai periwicara Parang Jati dalam Khotbah di bukit, terjadi dialog antara Islam dan kejawaan. Seperti, katanya dengan bagus, ada dua jenis alat : alat yang memaksa dan alat yang dialogis. Alat yang memaksa adalah bor, paku, piton, pasak, palu, yang secara prinsipil tidak berbeda dari alat perusak yang lain, seperti dinamit untuk menghancurkan tebing batu, atau tangga dan lampu yang mengubah goa Petruk menjadi tempat wisata murahan dan hancur-hancuran. Alat yang dialogis adalah pengaman sisip, pegas, perangko, dan segala yang tidak merusak alam. Alat yang memaksa datang dari sikap rakus dan jumawa. Alat yang dialogis dating dari sikap satria dan wigati. Rakus, aku berani bertaruh, berasal dari stem yang sama dengan raksasa. Ya, aku berani taruhan, rakus, rusak, dan raksasa memiliki akar yang sama.
Raksasa, dalam pewayangan, adalah lawan dari satria. Mereka digambarkan dengan tubuh besar, wajah tegak atau mendongak, mata melotot, hidung besar, mulut seringai, juga kidal. Mulut seringai itu tentu mendapatkan modelnya dari jenis anjing-anjingan. Bukan karena dengan sendirinya anjing adalah makhluk jahat, melainkan karena anjing memiliki gerak motorik yang kasar. Begigas gergasi. Anjing tak membungkus emosi dan nafsu-nafsunya. Selalu bisa dibaca dari gerak ekornya, posisi telinganya, mata, mulut, dan seluruh polah tubuhnya. Jika dibaca dengan cara lain, anjing lebih jujur. Kucing, meski hewan itu tidak berguna dan tidak setia, dan lebih suka mencuri disbanding anjing, memiliki gerak motorik yang sangat halus dan terkontrol. Mereka juga memiliki mulut yang mungil. Moncong anjing akan selalu mengingatkan kita pada gerak-gerik kasar. Cocok dengan gerak-gerik raksasa. Di sini, ikonografi tidak selalu bicara soal substansi atau moral, melainkan soal bentuk dan gerak. Bentuk dan gerak, tanpa moral tertentu. Tentulah saya berani bertaruh lagi bahwa kasar, rakus, rusak, raksasa, mengandung akar yang sama untuk menggambarkan bentuk yang sama. Yaitu rksrk.
Satria digambarkan dengan tubuh ramping, kepala sedikit menunduk dengan profil halus, gambaran sifat tahu batas, tidak gelojoh, dan rendah hati. Toh para pewayang tetap membuka diri pada pencitraan khusus. Ada juga beberapa satria yang ditatahkan dalam tubuh besar menyerupai rksrk bergigi karnivora. Pencitraan ini ada pada, misalnya, Kumbakarna, Bima, dan Gatotkaca. Mereka, yang berwujud kasar namun berhati murni. Kebajikan jenis lain, yaitu yang berada di luar kesatriaan, muncul juga melalui para punakawan, diwujudkan dalam mata bulat serta tubuh yang tidak ideal. Tubuh para badut, tubuh domestic, yang tak terlatih oleh disiplin dan latihan. Semar yang bulat pendek dan putra-putranya yang berperut lembek bahkan berkaki pincang. Petruk, Gareng, Bagong. Mereka memelihara jenis kebajikannya sendiri. Kebajikan makhluk-makhluk tanpa keanggunan, bahkan buruk rupa. Kebajikan yang bersahaja. Kebajikan rakyat jelata.
Aku tentu saja mengidentikkan kelompokku dengan para satria. Kami terlatih dalam sebuah disiplin ekspedisi. Disiplin itu pada gilirannya membentuk tubuh kami. Tubuh dating bersama sikap hidup tertentu. Dan aku memuja kesatriaan.

Tapi lelaki yang kabarnya mati digigit anjing itu tak bisa mengingatkan aku pada dunia wayang sama sekali. Ia tak memiliki stilisasi sedikitpun. Ia sungguh banal, seperti sinetron. Manakala aku mengamati Parang Jati dan teman-temanku, aku bisa menerapkan wujud-wujud estetika dan ikonografi pewayangan pada mereka. Tapi, ketika aku melangkah ke dalam rumah layat itu, aku seperti masuk kea lam televise. Segalanya sungguh banal. Mentah. Tanpa pengolahan. Tanpa penghalusan. Bahkan dengan penggandaan kementahan itu. Sebuah… reality show. Sekali lagi, aku tak sedang bicara soal substansi atau moral, melainkan bentuk.
Sampai sekarang aku mengingatnya dalam cahaya reality show. Yaitu, cahaya dari lampu sorot kamera digital yang keras dan tak berbelas kasih. Cahaya yang membuat manusia tampak buruk-kantung mata menjadi tebal, pori-pori dan segala bopeng terlihat lebar, dan sela-sela gigi menjadi hitam—kecuali jika orang menutup mulut dan mengenakan riasan panggung. Dan, sekalipun orang telah mengunci mulut dan mengenakan pulasan pentas, sinar lampu bidik itu tetap membuat manusia tampak datar, kehilangan kedalaman, dengan demikian kehilangan jiwa. Manusia menjadi seperti gambar bergerak tanpa ruh. Lampu kamera bertolak belakang dengan cahaya sentir pertunjukan wayang, yang bersahaja dan berayun-ayun, yang memaksa kita mencari kedalaman dalam baying-bayang. Tapi desa ini telah kehilangan kebersahajaan. Sejak listrik masuk. Kau tahu aku benci listrik. Makhluk ini mengacaukan keheningan malam.
Seseorang telah memasang pengeras suara. Ayat-ayat merayap ke jalan-jalan yang masih gelap, menyelinap di antara rumpun-rumpun bambu. Parang Jati memarkir sepeda di depan rumah yang tak buruk untuk ukuran desa. Rumah dengan dua kamar tidur, sebuah ruang tamu yang berfungsi untuk menerima tamu sekaligus makan di atas tikar, serta dapur kecil di belakang. Sumur dan peturasan pastilah masih terpisah dari bangunan.
Kami melepas alas kaki di depan teras, dan dunia menjadi gaib begitu kami melangkah ke dalam rumah. Di ruang utama terbujur sosok itu. Seseorang membuka kembali kain batik penutup wajah si jenazah, entah bagi kami atau bagi orang lain. Seketika terdengar perempuan menjerit. Orang-orang nyebut. Suara mereka bergairah sekaligus tercekik, menimbulkan perpaduan ganjil antara kepuasan dan kengerian. Perpaduan rasa seram dan puas itu menghirup bulu kudukku. Wajah jenazah terdadah di hadapanku sekarang. Aku bergidik, lebih kepada diriku sendiri daripada kepada apa yang tampak. Tengkukku meremang menyadari bahwa seluruh kepalaku tiba-tiba menjelma kamera tayangan realita, yang keras dan tak berbelas kasih. Lensa mataku memfokus dan diagframanya menyesuaikan cahaya. Dan ketika obyek telah dibidik, perekam berputar seolah tak mau berhenti mencari ketajaman. Proses mekanis ini lebih menakutkan daripada apa yang sesungguhnya kulihat atau kudengar.
Bau kapur barus, pengusir lalat dan ngengat dari jenazah. Sejumput bubuk kopi taburan. Setelah sejenak buram ketika fokus belum ditemukan, pelan-pelan tampaklah wajah itu, yang tersisa dari tubuh yang terbungkus kafan. Sinar yang keras membuat segala yang buruk terungkap. Lelaki itu mestilah mati dengan menit-menit menyakitkan. Matanya masih separuh mendelik dan mulutnya berjejak seringai. Kulitnya keunguan, bercarutan bopeng dan bintil-bintil. Barangkali sejak hidupnya ia berjerawat dan bertahilalat, atau pernah terkena cacar (yang anehnya tak pernah kuperhatikan saat berpapasan dulu). Tapi kudengar orang-orang berbisik bahwa semua itu baru tumbuh semenjak ia sekarat. Ada yang berkata bahwa, lihatlah, bintil dan keropeng itu masih terus berbiak sekarang. Dan jika ia tak segera dimakamkan, kita akan melihat bahwa tubuhnya terus berproses. Dari bintil-bintil itu akan keluar ular-ular sebesar telunjuk. Lekas, lekas kuburkan dia.
Tapi, yang paling horor dalam pengalamanku adalah menyadari betapa kepalaku sendiri berubah menjadi kamera sataniah itu. Kepalaku menyorot, membidik, merekam ghambar yang sampai sekarang tak bisa kuhapuskan. Kesadaran ini membuat rasa ingin muntah. Kesadaran bahwa aku tak beda dari televise. Pada sebuah detik yang lalai aku mencobamenghentikan perekam otomatis itu dengan menoleh ke Parang Jati. Kulihat wajahnya dingin. Tapi dari matanya yang kehilangan sirat bidadari kukira ia menyembunyikan rasa terkejut. Ia menoleh sekilas kepadaku dan berbisik menang, “Sudah saya bilang tadi. Berbahagialah orang yang tak perlu melihat tapi percaya saja.”
Humor tipisnya membebaskan aku dari kamera kuntilanak yang barusan mencekat kepalaku. Aku merasa lega karena bisa menatap kea rah lain. Kulihat seorang penghulu membacakan doa agak jauh dari keranda. Dalam ingatanku sekarang, ia satu-satunya orang dalam ruangan yang bisa mengembalikan aku pada ikonografi pewayangan, membebaskan aku sejenak dari kenyataan reality show. Manusia-manusia lain di tempat ini sungguh hiperrealis seperti tayangan televise. Mentah dalam kaca pembesar. Inilah definisi hiperrealita : realita yang disampaikan dalam cahaya yang berlebihan dan skala diperbesar berlipat-lipat. Kenyataan yang dilihat dalam sedikitnya seribu wat dan zum sepuluh kali. Si penghulu adalah yang berada dalam cahaya dan ukuran wajar, dan merupakansatu-satunya sosok yang memiliki stilisasi.
Ia mengingatkan aku pada Semar. Sebagai badut, rakyat, dan abdi, ia bertubuh bulat pendek. Tapi ia juga penasihat nan hikmat. Bahkan wakil hati nurani. Semar memiliki mata bijak orang tua, dengan kelopak yang layu, yang membuatnya sendu dan bukan jelahat. Sang penghulu tampak bersahaja. Ia mengenakan sarung, kemeja batik, dan peci yang telah lusuh.
Tiba-tiba masuklah seorang pemuda yang sangat mencolok. Ia mengejutkan aku karena mengubah tayangan realita ini menjadi sebuah sinetron hidayah. Tokoh yang masuk ini mestinya hanya mungkin ada dalam film yang diturunkan dari animasi. Ia mengenakan baju putih-putih Diponegoro, namun dengan rompi panjang berbahan kulit yang membuatnya tampak bagai pendekar Tartar dalam kisah fantasi. Ia mengenakan kasut dengan tali-temali hingga ke lutut. Ia tidak mengenakan turban putih, melainkan sebuah topi yang sangat istimewa. Penghias kepala itu terbuat dari bahan yang menyerupai bulu kelinci hitam, seperti pada kopiah, namun dengan jahitan sedemikian rupa sehingga mirip rambut surai-surai pada tokoh komik Jepang. Ia memiliki wajah tampan yang cocok dengan penampilan itu. Hidungnya tegas dan matanya panjang, bibirnya berbentuk amat baik lagi kemerahan, tanda ia masih muda, bukan petani, dan tidak merokok. Ia juga memiliki sederet gigi yang rapi. Jika ia anak desa, mestilah ia mendapatkannya secara alamiah. Jika ia anak kota, kemungkinan itu pekerjaan ortodonti. Sesuatu padanya mengesankan bahwa ia datang dari desa ini, meski sesuatu lain mengubahnya menjadi makhluk manga.
“Berbahagialah orang yang tidak melihat tapi percaya. Tapi, percayakah kau pada yang kau lihat sekarang?” bisikku pada Parang Jati.
“Saya kenal dia. Namanya Kupukupu. Dulu. Sekarang sudah ganti nama.”
Kupukupu hanya bisa diterangkan dalam ikonografi komik Jepang. Atau tiruan manga yang sekarang meraja di Indonesia.
Malam itu begitu aneh, seperti sebuah kisah sinetron yang tak masuk akal. Orang-orang masih melantunkan yasin ketika Kupukupu mengambil mikrofon begitu saja dan membuat maklumatnya sendiri. Ia mengumumkan bahwa pamannya, lelaki yang mati itu, tidak pantas disembahyangkan dan tak boleh dimakamkan dengan cara Islam. Sebab, lelaki itu telah musyrik. Ia telah mempersekutukan Allah selama hidupnya. Ia bahkan telah membikin perjanjian dengan setan. Kupukupu membeberkan bahwa pamannya telah menjalankan laku sesat ini bertahun-tahun padahal ia telah memperingatkan lelaki ini berkali-kali. Pamannya melakukan tapa dan mempersembahkan sesajen di Watugunung. Ia memiliki ilmu hitam dan bisa berubah menjadi hewan jejadian. Harimau jadian. Babi ngepet. Ayam pelung yang berkokok malam hari. Tapi Tuhan menunjukkan kebesaran-Nya dan menghukum dia melalui binatang hina dina.
“Seekor anjing buduk menggigitnya dan ia mati karena itu!” katanya dengan nyaring.
Aku tak bisa melupakan cara bicaranya. Sungguh gaya actor hidayah yang begitu yakin bahwa ia membawakan kebenaran bahkan ketika berada diluar adegan.
Sang penghulu yang telah lepas dari rasa terkejut kini mendekati dia. Aku menamainya Penghulu Semar. Lelaki yang jauh lebih tua itu berbicara dengan bahasa Jawa halus, lalu mereka bercakap-cakap dengan karma. Samar-samar aku menangkap usaha pria itu untuk mengingatkan si anak muda agar menghargai suasana duka dengan bersikap santun. Kira-kira ia berkata, siapakah kita ini sehingga berhak menghakimi yang menjadi hak Allah?
Tapi Kupukupu mengutip, “Janganlah kamu sekali-sekali menyembahyangkan jenazah orang musyrik…”
“Ya, ya. Bapak ini juga tahu ayat itu,” kata penghulu Semar. “Tapi hal itu menjadi pengetahuan Gusti Allah semata. Lagi pula, kita ini warga desa. Seluruh warga desa ikhlas untuk menyembahyangkan almarhum, Nak.”
“Ustadz jangan meyebut dia almarhum. Almarhum hanya untuk orang muslim. Dia telah musyrik.”
Suasana menjadi tegang karena Kupukupu tidak mau membiarkan orang-orang bersembahyang. Di antara pelayat, aku melihat dua tiga orang yang mulai setuju pada perkataan Kupukupu, meskipun mereka tak mau berbicara dengan keras. Tanpa pendukung pun, kekerasan hati Kupukupu untuk menghalangi pemakaman cukup membuat keadaan semakin genting.
Puncak ketegangan mala mini berakhir ketika kepala desa dating dengan beberapa orang hansip. Ia mengenakan batik dan para hansip berseragam hijau muda. Si kepala desa itu bertubuh bulat dan bermuka bundar, sedikit lebih tinggi dari Penghulu Semar. Tapi matanya bulat melotot dan moncongnya sedikit lebih maju ketimbang hidungnya. Ia mengingatkan aku pada BVilung, yaitu Punakawan yang berada di pihak raksasa. Jika Semar mewakili ketulusan nurani, Bilung mewakili pertimbangan pragmatis. Ia menghindari benturan dan memilih melakukan tawar-menawar dengan pemuda Kupukupu. Keputusan yang menurutku tak seharusnya.
Karena hati batu si anak muda seorang diri, keluarga dan kepala desa sepakat untuk tidak memakamkan jenazah malang itu di pemakaman desa. Pemuda K berhasil memaksakan kehendaknya, meski tidak seluruh tuntutannya. Sebagai penonton, sungguh aku tak mengerti mengapa istri mendiang dan para petinggi desa mengalah pada satu pemuda eksentrik yang hanya bisa diterangkan dalam ikonografi komik hibrida.
Kulihat arak-arakan keranda pergi dengan obor-obor menuju sebuah hutan di kaki Watugunung. Setetes air jatuh di alisku.



Sumber :



Novel : Bilangan Fu
Karya : Ayu Utami
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, 2008











































Total Pageviews

Powered by Blogger.

Followers